Dharma Nadi Candra. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Review Artikel



Review Artikel
“MEDIA SEBAGAI PANGLIMA”
karya Seno Gumira Ajidarma
Bibiografi ; Artikel berjudul Media Sebagai Panglima ini di pamerkan dalam pesta media. Di postkan di Kebon Jeruk pada tanggal 4 Juni 2013. Artikel ini disambut meriah oleh masyarakat dan baik untuk dibaca.
Penulis memberikan banyak gambaran tentang kondisi media saat ini, khususnya di negara Indonesia kita tercinta ini. Menjelaskan bahwa perlunya sikap netralitas yang harus dimiliki oleh wartawan. Karna masih banyaknya wartawan yang masih terlibat dalam suatu kalangan tertentu. Sehingga berita yang dihasilkan itu tidak mendominasikan kalangan tertentu saja. Dibuktikan dalam kalimatnya “Dalam proses sosial politik semacam itulah, berlangsung perlawanan kelompok terbawahkan maupun negosiasi kelompok dominan terhadap perlawanan itu, agar konsensus sosial dari saat ke saat, dominasi wacana kelompoknya masih bertahan.” Sangat terlihat sekali bahwa beliau menjelaskan bahwa masih banyak diantara wartawan kita khususnya yang masih dalam bekerja masih dipengaruhi dalam kelompok-kelompok atau kalangannya agar tetap utuh. Didukung pula dengan banyaknya wartawan yang cenderung menbyesatkan informasi guna untuk membela salah seorang ataupun salah satu kelompoknya. Jadi, Penulis berharap agar pembaca khususnya mengetahui bahwa keberbedaa informasi yang ada di Indonesia kok berbeda-beda antara media satu dan lainya. Itu dikarenakan hal ini.
Arrtikel itu terasa garing, seperti makan lalapan tanpa sambal rasanya akan kurang lengkap. Begitu pula dengan artikel ini. Apabila tanpa bukti atau fakta yang mendukungnya, maka artikel ini adalah artikel yang garing. Fakta yang muncul adalah tentang wartawan yang mau tidak mau akan berperan penting dalam mengendalikan, mengarahkan, dan menentukan pewartaan. Disini menarik sekali, seperti gaya hidup yang meniru orang yang populer. Ketika wartawan memperlihatkan tentang gaya hidup artis dengan model gaya rambut. Maka secara tidak langsung masyarakat akan meniru gaya rambut tersebut karna dibilang mereka bahwa gaya rambut yang seperti itu adalah trend. Dan karena hal ini pula yang menyebabkan timbulnya banyak sekalipropaganda kaum politisi, promosi gratis para cukong, khotbah nabi-nabi gadungan, dan pembenaran golongan militer yang mentalitasnya setara dengan preman. Fakta lainnya adalah harus banyak para wartawan yang harus berjuan untuk masyarakat kalangan bawah agar tidak semakin tertindas dengan masyarakat kalangan dominan.
Yang menjadi pertanyaan ketika saya telah membaca artikel ini adalah bagaimana penulis mengemas peran penting pemerintah dalam urusan ini. Karena sebuah negara pastinya sangat menentukan karena disini pemerintah adalah lembaga yang bisa memberikan perlindungan untuk rakyat. Dan wartawan adalah salah satu dari anggota masyarakat yang merupakan kumpulan dari rakyat negara itu sendiri. Sehingga perlu atau tidakah pemerintah memberikan batasan-bataasan untuk wartawan khhususnya. Dan apakah pemerintah hanya diam saja membiarkan wartawan meliput semuanya yang diketahui. Pertanyaan lain yang muncul adalah berbicara tentang media sebagai panglima, berarti media ini adalah sebagai pelindung. Yang menjadi pertanyaan itu kok bisa media itu senbagai pelindung. Pelindung dalam hal apa, apakah dengan adanya berita tersebut kelompok terteentu akan terlindungi dengan menutupi kesalahan kelompok tersebut. Berarti sama saja dengan informasi tersebut adalah bohongan. Dan buat apa kita percaya dengan informasi tersebut. Hasil lainnya pun membuat kita semakin diliputi kebingungan karna ulah dari wartawan yang saling menutupi antar media sehingga terdi ketidaksamaan berita. Padahal kita membutuhkan berita yang memang benar-benar itu berita bukan berita yang dibuat-buat.
Dalam mengupas informasi tergolong unik sekali, mulai dari bahasanya yang tingkat tinggi “Media bukanlah kenyataan, media adalah konstruksi kenyataan,....”, penulisan kalimat pembuka yang berbeda-beda dan menarik “Puan-puan dan Tuan-tuan yang terhormat, Puan-puan dan Tuan-tuan yang Tentu Saja Saya Muliakan, dan Puan-puan dan Tuan-tuan yang Saya Doakan Agar Berbahagia”. Disini dapat kita pelajari bahwa bahasa tinggi yang umumnya sulit dan ogah-ogahan dalam menggunakannya, ternyata ketika kita tepat memilih bahasa tersebut dan ditempatkan pada tempatnya maka tulisan tersebut akan terasa indah bila dibaca dan dipelajari. Begitu pula dengan penyusunan kalimat yang layaknya pidato. Itu sangat menarik perhatian orang lain beranggapan bahwa itu adalah pidato orang yang tak jadi. Dan pembaca tidak akan menyangka bahwa yang ia baca itu adalah artikel.
Untuk teman-teman yang tertarik dengan artikel ini bisa membacanya disini. http://pestamedia.com/2013/2013/06/24/seno-gumira-ajidarma-media-sebagai-panglima/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS