A. Kronologi
Kasus Buddha Bar
Agustus
2008
Berita
tentang Buddha Bar akan segera dibuka di Jakarta mulai merebak. Sejak saat itu
sudah ada tindakan dari beberapa organisasi maupun pribadi dengan berbagai cara
juga, mulai dari surat himbauan, ajakan untuk berdiskusi, undangan untuk
bertemu dsb. yang dilayangkan kepada manajemen dan pemilik Buddha Bar, intinya
untuk mencegah pemakaian nama Buddha Bar demi menghormati toleransi beragama di
Indonesia. Namun semuanya tanpa hasil karena tidak adanya respon dari manajemen
atau pemilik Buddha Bar.
Surat
rekomendasi dari Gemabudhi tentang tidak keberatan dengan penggunaan kata
“Buddha” pada Buddha Bar. Rekomendasi yang sama juga diperoleh dari Forum
Komunikasi Umat Buddha DKI Jakarta dan DPD Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia (Majabumi) DKI Jakarta. Karena 3 buah surat rekomendasi ini, maka
seakan-akan seluruh umat Buddha Indonesia tidak keberatan dengan merek “Buddha
Bar”. Dan rekomendasi ini pula yang memuluskan jalan berdirinya Buddha Bar di
Indonesia.
Belakangan
baru diketahui bahwa ketiga surat rekomendasi tersebut ditandatangani oleh satu
orang yang sama yakni Budiman Sudharma. Dan tiga organisasi yang memberikan
rekomendasi tersebut seharusnya tidak bisa dijadikan sebagai acuan pendapat
umat Buddha, karena bukan merupakan organisasi agama Buddha besar yang diakui
di pemerintahan Indonesia, yang hingga saat ini hanya ada dua yakni KASI dan
WALUBI.
Rekomendasi
ini juga membingungkan dilihat dari kacamata umat Buddha sendiri, karena dalam
ajaran guru Buddha, salah satu mata pencaharian tidak benar dan tidak
disarankan untuk dilakukan oleh umat Buddha adalah menjual minuman yang
memabukkan. Bagaimana mungkin seorang umat Buddha (atau yang mengaku umat
Buddha?) dapat menulis rekomendasi memperbolehkan pemakaian nama Buddha untuk
sebuah bar yang pasti akan menjual minuman memabukkan yang sebenarnya bagi umat
Buddha merupakan mata pencaharian yang tidak benar?
Dikutip
dari The Jakarta Post:
Raymond
Visan, CEO of the George V group of records, spas, eateries and sleeperies,
built a concept on the early 1990s Western fad for the East, when Asian food,
objets and music were hot, and the Buddha himself was the king of cool, The
Paris Buddha Bar. Described as being “for those who have outgrown clubbing”,
the Buddha Bar was designed as a place people could soak up some ambiance,
tunes and a few drinks.
“Jakarta
is an exciting place to be right now,” says Renny Sutiyoso, one of the owners
and the public face of the Jakarta Buddha Bar. “People in Jakarta spend a lot
of money, and they like to eat nice things.” “You don’t have to go to Paris to
go to the Buddha Bar,” says Renny. People are gossiping about what lies ahead,
says Renny. She should know: the 28-year-old daughter of the former governor is
one of Jakarta’s most active young women around town. People are lining up to
be among the first to be seen at the Jakarta Buddha Bar. But if you want to
share the experience, you have to dress for the occasion. The rules are simple
– you’re not getting through that door if you’re not dressed to the nines. And
tens and elevens. It appears the Buddha Bar clientele are as much a part of the
décor as the Enlightened One himself.
24 Nopember
2008
Grand
Opening Buddha Bar.
Pesta
pembukaannya dihadiri oleh selibriti dan pejabat penting di Jakarta. Dalam
website Buddha Bar sendiri (saat ini sudah tidak ada lagi), terpampang foto
suasana pesta dengan latar rupang Buddha ukuran besar. Sungguh kontras
pemandangan antara rupang Buddha yang agung dan tenang dengan suasana pesta
yang hinggar binggar. Dari berbagai cerita orang-orang yang telah kesana,
simbol agama Buddha benar-benar tidak dihargai sebagaimana mestinya dan
dijadikan sebagai pajangan dan hiasan disana.
Karakter
‘Fo’ yang merupakan kata Buddha dalam aksara Mandarin tercetak dimana saja,
mulai dari papan nama, buku menu, piring, asbak, hingga tissue toilet. Untuk
umat bukan-Buddha yang membaca tulisan ini, bisa mencoba berempati dengan umat
Buddha dengan mencoba membayangkan bila aksara yang melambangkan Buddha yang
dituliskan di asbak atau tissue toilet tersebut diganti dengan (maaf) simbol
Aum, simbol salib atau aksara Allah.
Dengan
alasan ini, banyak umat Buddha menganggap bahwa Buddha Bar telah
menyalahgunakan simbol agama Buddha dan secara sengaja (atau tidak sengaja)
telah melakukan penodaan agama. Dan tindakan ini telah melanggar KUHP Pasal
156a butir a yang berbunyi : “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
lima tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Ada
beberapa argumen dari pendukung Buddha Bar yang menyatakan bahwa patung Buddha
hanyalah patung, dan karena umat Buddha bukan penyembah patung maka tidak ada
masalah sama sekali dengan penempatan patung Buddha di tempat hiburan malam
seperti Buddha Bar. Dengan analogi sederhana kita bisa mengatakan bahwa bendera
merah putih hanyalah kain, dan bangsa Indonesia bukan memberi hormat pada kain
setiap upacara bendera, karena itu tidak masalah jika bendera merah putih
dipakai sebagai apa saja.
16 Januari
2009
Merek
Buddha Bar terdaftar di Direktorat Jenderal HAKI Dephukham RI. Sertifikatnya
terdaftar dengan nomor IDM000189681 di klasifikasi 43 dengan layanan “jasa-jasa
restoran (restaurant services), bar (bars services), kafe (cafes services),
hotel (hotel services), akomodasi sementara (temporary accomodation)”. Tanda
kutip menandakan kalimat merupakan kutipan apa yang tertulis di sertifikat
Buddha Bar. Dengan demikian, maka selain usaha restoran seperti yang selalu
dikatakan, maka Buddha Bar juga memiliki ijin untuk bar (dibaca: tempat menjual
minuman beralkohol), dan memiliki ijin untuk menjadi tempat penginapan baik
sementara ataupun tidak sementara (dibaca: menyewakan kamar yang memiliki
tempat tidur).
Dan
taukah anda bahwa musik yang mengalun di seluruh jaringan Buddha Bar di dunia,
yang berada di bawah label George V Records salah satu jaringan George V
Eatertainment, yang juga dijual bebas dengan label ‘Buddha Bar’, adalah salah
satu dari beberapa jenis musik yang dipilih sebagai musik pembangkit gairah
(maaf) seks ???
Sangat
disayangkan bahwa para aparat pemerintah di Dirjen HAKI lupa membaca dasar
hukum merek yakni UU No. 5 tahun 2001. Sehingga yang diperiksa hanya apakah
nama Buddha Bar sudah ada di Indonesia atau belum. Namun mereka tidak sendirian
dalam hal ini, karena ‘ketidaktahuan’ yang sama juga dialami oleh aparat
pemerintah yang mengurus pendaftaran merek di negara Perancis, tempat asal
franchise Buddha Bar. Jauh sebelum Buddha Bar Paris dibuka pada tahun 1996,
pada tahun 1883 Perancis telah menjadi tuan rumah penyelenggara konvensi
internasional untuk perlindungan kekayaan industri yang menghasilkan Paris
Convension (Konvensi Paris). Dan Perancis merupakan satu dari sebelas negara
awal yang menandatangani konvensi atau perjanjian internasional ini.
Dalam Paris
Convension Article 6 tertulis:
The
countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permits,
or at the request of an interested party, to refuse or to cancel the
registration, and to prohibit the use, of a trademark which constitutes a
reproduction, an imitation, or a translation, liable to create confusion, of a
mark considered by the competent authority of the country of registration or
use to be well known in that country as being already the mark of a person
entitled to the benefits of this Convention and used for identical or similar
goods. These provisions shall also apply when the essential part of the mark
constitutes a reproduction of any such well-known mark or an imitation liable
to create confusion therewith.
Jadi
sebenarnya, George V Eatertainment (tidak ada kesalahan tulis disini) sendiri,
sebagai pemegang lisensi Buddha Bar, juga bisa digugat. Namun, untuk menggugat
gurita raksasa ini, diperlukan lebih dari sekedar komitmen (anda tahu apa yang
saya maksudkan).
22 Januari
2009
Dikutip
dari AntaraSumut.com :
Umat
Buddha di Sumatera Utara mendesak pemerintah agar mencabut dan menghentikan
operasional Buddha Bar Jakarta. Dalam penjelasannya, Sekretaris Umum Persamuan
Boddhicitta Mandala Indonesia (PBMI), Brilian Muktar, mengatakan, keberadaan
Buddha Bar yang beroperasi sejak dua bulan terakhir telah melecehkan umat
Buddha di seluruh Indonesia, karena didalam Buddha Bar tersebut terdapat
simbol-simbol agama Buddha. Ini merupakan pelecehan agama, boleh kita lihat
dikertas ini, banyak gambar-gambar yang menunjukkan simbol agama Buddha di
letakkan di tempat tersebut, katanya kepada sejumlah wartawan, di Jalan
Multatuli Medan. Ia menambahkan, didalam Buddha Bar tersebut juga terdapat Bar,
Diskotik yang dinilainya diluar dari ajaran Buddha. Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia asal Sumut, Parlindungan Purba yang juga hadir dalam
pertemuan tersebut mengatakan, pihaknya akan segera menindaklanjuti
permasalahan terkait keberadaan Buddha Bar tersebut, kerena menurutnya ini
merupakan persoalan yang menyangkut keagamaan. Kami akan tindak lanjuti masalah
ini, kerena ini merupakan sesuatu yang bersifat pelecehan agama, bangsa ini
tidak pernah mengajarkan hal semacam itu, katanya.
Dikutip
dari Sinar Indonesia Baru:
Solidaritas
Peduli Buddhis memprotes keberadaan Buddha Bar sebuah rumah minum di Menteng,
Jakarta. Solidaritas Peduli Buddhis Sumut yang terdiri dari 16 elemen, di
antaranya Majelis Buddhayana Indonesia, Majelis Pandita Buddha Mahayana
Indonesia, Pelestari Buddha Dharma Indonesia, Parisada Buddha Dharma Nichiren
Shosu Indonesia, dan Walubi Sumut menyatakan keberatan atas berdirinya sebuah
bar yang mencantumkan nama Buddha untuk sebuah tempat hiburan. Hal tersebut
diungkapkan ketua Solidaritas Peduli Buddhis Sumut Ir. Sutopo didampingi
Sekretaris Ras Nananda, Solihin Chandra, Soni Firdaus Jhonson Min kepada
wartawan, Sabtu (31/1). Penggunaan nama Buddha yang dipakai untuk sebuah bisnis
bar telah melecehkan agama tersebut. Serta dinilai sangat tidak etis apabila
simbol-simbol keagamaan dipakai untuk hal-hal yang tidak pada tempat/fungsi.
Pihaknya juga sudah menyurati DPD-RI serta akan kembali menyurati Pemda DKI
Jakarta dan pemilik bar tersebut.Serta akan menggalang kekuataan dengan
masyarakat, organisasi keagamaan di Jakarta untuk bersama-sama akan gugat pemilik
dan Pemda DKI Jakarta. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa umat Buddha
Sumut mendesak pemerintah segera mencabut izin operasional tempat hiburan yang
baru dioperasikan sekitar dua bulan lalu. Serta mengharapkan agar simbol-simbol
dan nama Buddha tidak dipakai untuk sebuah bar.
Dikutip
dari NusantaraNews:
Sangat
disayangkan sekali bahwa pemilik franchise Buddha Bar bukanlah masyarakat
biasa, tapi anak kesayangan dari “pemimpin” negeri ini, Puan Maharani, Renny
Sutiyoso dan Dyan Farid (Caleg DPD 2009-2014 ). Puan Maharani merupakan putri
mahkota dari mantan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum PDIP)
dan Renny Sutiyoso adalah putri makhota mantan Gubernur DKI Jakarta Jend (Purn)
Sutiyoso. Kedua-kedua orang tua mereka mencalonkan diri sebagai Presiden RI
ke-7 pada pilpres 2009. Megawati membawa bendera PDIP, sedangkan Bang Yos
membawa bendera Partai Indonesia Sejahtera. Sedangkan Puan Maharani menjadi
caleg DPR RI dapil Jateng. Tidak bisa dipungkiri bahwa mereka merupakan publik
figur di negeri ini. Sebagian besar rakyat Indonesia bahkan akan memilih Bu
Mega dan Bang Yos serta partai pendukungnya. Sedangkan Dyan Farid adalah calon
anggota DPD RI 2009-2014 yang saat ini didukung partai Agamais yakni PPP. Djan
Faridz merupakan pengusaha kaya keturunan Betawi Pakistan, mantan Ketua Dewan
Pembina DPD I Partai Golkar DKI Jakarta, Dirut PT. Priamanaya, pengembang Pasar
Tanah Abang Blok A dan Pakubuwono Square, Bendahara Tim Sukses Fauzi Bowo,
(baca berita lengkapnya di: Gubernur DKI utang BUDI dengan Haji Djan Farids
????) dan juga pemilik Gedung Mega Institute atau Mega Center di Jl.
Proklamasi, Kantor Tim Sukses Megawati Soekarnoputri.
Dikutip
dari DetikCom:
Ketua
Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar akan meminta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo
turun tangan. “Kita tunggu juga Pak Fauzi Bowo untuk mencabut izin itu. Lalu
mendesak kepada Depkum HAM untuk tidak mengeluarkan hak paten brand tersebut.”
Hal ini disampaikan setelah menerima perwakilan dari Forum Anti-Buddha Bar di
Kantor DPP PKB, Jalan Sukabumi Nomor 23, Menteng, Jakarta Pusat. Muhaimin
mengimbau pemilik Buddha Bar untuk mengganti nama yang lebih baik. “Indonesia
tidak boleh dijajah oleh model-model franchise seperti itu,” cetus dia.
2 Maret
2009
Dikutip
dari Kompas.com :
Sangha
Mahayana Indonesia mendukung tuntutan pergantian nama Buddha Bar. Sangha
Mahayana juga meminta kepada seluruh umat Buddha untuk mewaspadai pihak yang
ingin memecah belah kesatuan umat Buddha. Hal itu dikatakan oleh Ketua Umum
Sangha Mahayana Indonesia Bhiksu Gunabharda Mahasthavira di Jakarta, Senin
(2/3), menanggapi kasus adanya oknum yang mengambinghitamkan Sangha Mahayana
untuk mendukung berdirinya Buddha Bar. "Sangha Mayana Indonesia yang resmi
dan telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri menolak dengan tegas penggunaan
nama Buddha Bar," kata Bhiksu Gunabharda.
5 Maret
2009
Demo
damai dari Aliansi Mahasiswa Buddhis (AMB). Tuntutannya sederhana, ganti nama,
dan keluarkan semua simbol agama Buddha dari tempat tersebut karena tempat
hiburan malam tersebut sama sekali tidak mencerminkan ajaran Buddha, bahkan
bertentangan dengan ajaran Buddha. Sebagai generasi muda yang beragama Buddha,
AMB hanya meminta sedikit dari hak nya sebagai warga negara Indonesia, yakni
dihargai agamanya.
Dikutip
dari Tempo Interaktif:
Ratusan
umat Buddha akan melaksanakan prosesi "Paritta" atau kebaktian doa di
depan Buddha Bar, Jalan Teuku Umar 1 Jakarta Pusat. Prosesi ini masuk dalam
rangkaian protes mereka pada pengelola kafe waralaba Prancis itu, yang dianggap
secara sembarangan memasang atribut keagamaan kaum Buddhis. Demikian
disampaikan Ketua Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, Eko Nugroho, kepada
Tempo, Kamis (05/03). Menurut dia, doa bersama ini digelar untuk menghormati
Rupang Buddha atau patung representasi sang Buddha yang ada di dalam bangunan
kafe. Kebaktian bersama, menurut Eko, digelar agar pemilik kafe sadar dan
melepas atribut Buddha yang telah mereka pasang. Lebih jauh Eko berharap agar
tempat hiburan itu mau mengganti nama. "Sangat tidak pantas, ketika simbol
agama atau nama agama dipakai dalam tempat hiburan yang menjual minuman
keras," kata dia. Selain unjuk rasa, umat Buddha yang tergabung dalam
Forum Anti Buddha Bar (FABB) juga telah melayangkan somasi pada pemilik kafe
tersebut. "Namun demikian hingga kini belum ada tanggapan," kata Eko.
Sementara
itu, Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta DKI Jakarta Arie Budiman menyatakan
pihaknya masih menjadi fasilitator antara umat Buddha dengan pemilik Buddha
Bar. Arie menegaskan bahwa permintaan umat Buddha untuk mengganti nama kafe itu
ditanggapi oleh pemiliknya. "Umat Buddha kami minta agar bersabar, karena
franchise internasional, penggantian nama itu butuh proses," kata Arie di
Balaikota DKI kemarin. Arie menegaskan bahwa pemilik Buddha Bar mengantongi
izin resmi pemerintah maupun organisasi agama Buddha. Namun demikian protes ini
dinilai Arie sebagai sesuatu yang wajar, mengingat banyaknya faksi di antara
organisasi beragama itu.
Dikutip
dari berita di media:
(1)
Kompas.Com : Ketua DPRD DKI Jakarta Ade Surapriyatna akan mendesak Gubernur DKI
Jakarta Fauzi Bowo segera menutup operasional tempat hiburan yang menggunakan
simbol keagamaan itu. “Saya akan bicara secara lisan dulu dengan Gubernur agar
operasional bar itu ditutup dulu karena ini menggunakan simbol keagamaan,”
jelas Ade. Selain kepada Gubernur, Ade juga berencana membahas masalah
kehadiran dan pengoperasionalan Buddha Bar ini dalam rapat pimpinan (Rapim)
DPRD DKI Jakarta.
(2)
Tempo Interaktif: Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Pemerintah DKI
Jakarta menjelaskan status kepemilikan Gedung Batavia Kunstring yang sekarang
menjadi Buddha Bar. Kepala Bidang Investigasi dan Informasi Publik ICW Agus
Sunaryanto mengatakan ada kecurigaan bahwa gedung milik Pemda itu telah beralih
menjadi milik swasta. "Status ini perlu dijelaskan oleh Pemda, apakah
sudah dialihkan atau disewakan," ujarnya. Apalagi, katanya, bangunan cagar
budaya itu dulunya dibeli dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Menurut Agus, Pemda sudah menggeluarkan dana sebesar Rp 31 miliar untuk
membeli dan merenovasi gedung tersebut. Oleh karena menggunakan uang rakyat,
maka harus jelas pertanggungjawabannya. Meski pemerintah diperbolehkan
menggandeng pihak swasta dalam mengelola BCB, tetapi menurut Agus, harus jelas
skema kerja samanya. "Apakah menguntungkan pemerintah atau tidak,"
katanya. Dalam mengelola gedung eks imigrasi itu, Pemda menggandeng PT Niresta
Vista Creative. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI mengeluarkan izin
operasional usaha pada tanggal 12 November 2007. PT Niresta Vista Creative
kemudian membeli franchise Buddha Bar. Agus mengkhawatirkan adanya konflik
kepentingan karena salah satu pemilih Buddha Bar adalah Renny Sutioyoso.
"Bagaimana pun juga ia adalah anak Gubernur Jakarta saat itu,"
ujarnya.
Dikutip
dari berbagai berita di media:
(1)
BeritaSore : Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam pertemuan dengan para tokoh
agama di Jambi menegaskan sebaiknya bar tersebut ditutup karena telah melukai
perasaan umat beragama. “Jika tidak ditutup, dikhawatirkan nanti ada Islam Bar,
Kristen Bar dan bar-bar lainnya.”
(2)
DetikCom : Forum AntiBuddha Bar (FABB) melaporkan PT Nireta Vista Creative,
pengelola Buddha Bar, ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka melapor dengan
tuduhan penistaan agama. Laporan ini diterima polisi dengan nomor laporan
polisi Nopol/668/K/III/2009/SPK Unit III. "Kalau kata Buddha disandingkan
dengan bar, konotasinya negatif. Dan bar itu usaha menjual minuman, masa
disandingkan dengan Tuhan? Kalau franchise harus disesuaikan dengan budaya
setempat. Dan Buddha Bar di Asia cuma di Indonesia, karena di Malaysia ditolak,
di Thailand ditolak, dan di Singapura ditolak," urai Koordinator FABB
Kevin Wu.
(3)
Kompas.Com : Derasnya arus penolakan terhadap keberadaan restoran Buddha Bar di
Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, justru membuat beberapa umat Buddha
di Indonesia mengaku sedih. Sebab, cara-cara yang dilakukan untuk menolak
keberadaan restoran tersebut sangatlah tidak mencerminkan nilai-nilai
Buddhisme, salah satunya dengan menggelar demo. Padahal, penyelesaian kasus ini
bisa ditempuh melalui jalur hukum. Demikian kata Lieus Sungkharisma saat
menghadiri acara dialog "Kontroversi Buddha Bar" di Hotel Borobudur,
Jakarta Pusat (11/3). Lieus menjelaskan, dengan semakin banyaknya tempat usaha
yang menggunakan nama dan istilah agama Buddha, justru umat Buddha harus
berbangga hati. Sebab, baik patung maupun sejumlah simbol keagamaan umat Buddha
lainnya semakin memasyarakat, apalagi jika dirawat dengan baik, seperti patung
Buddha di restoran Buddha Bar yang begitu diagungkan dan mendapat perawatan
yang bagus. "Sebagai orang Buddha, saya malah bangga."
Berita
(3) inilah yang menimbulkan persepsi bahwa seakan-akan hanya segelintir umat
Buddha yang menolak keberadaan Buddha Bar. Padahal kenyataan yang ada adalah
HANYA segelintir oknum mengaku beragama Buddha yang mendukung keberadaan Buddha
Bar. Namun pernyataan oknum ini dirilis di media seolah-oleh mereka mewakili
suara umat Buddha. Mungkinkah karena mereka yang menolak Buddha Bar menyuarakan
penolakan dengan berpanas-panas melakukan aksi damai di jalan raya, sedangkan
mereka yang mendukung Buddha Bar melakukan konferensi pers dalam suasana nyaman
di ruang seminar Hotel Borobudur yang bertaraf internasional ???
Dikutip
dari berita di media cetak:
(1)
Suara Karya Online : Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo menyatakan, tidak akan
ikut campur. Ia menyarankan agar pihak yang mempersoalkan keberadaan Budhha Bar
menyelesaikannya lewat jalur hukum. “Saya kira kita serahkan pada wilayah hukum
saja. Itu bukan bersengketa dengan kami. Dinas Pariwisata memberi ijin itu
kepada badan hukum yang memegang HAKI,” katanya di Balai Kota Jakarta. Fauzi
Bowo juga menolak untuk mengusulkan penutupan bar itu, ia mengatakan bahwa hal
itu akan tergantung dari keputusan hukum yang berlaku. “Jadi kalau masalah hukum
ya selesaikan saja melalui hukum. Kalau pengadilan mengatakan tutup ya tutup,”
ujarnya. Gubernur menambahkan, tidak ada yang salah dalam pemanfaatan bangunan
cagar alam itu dan kontroversi muncul karena penggunaan nama Buddha untuk bar
tersebut. “Fungsi bangunannya nggak ada yang salah, namanya saja yang salah,”
kata Fauzi Bowo.
(2) VivaNews : Dinas Pariwisata DKI Jakarta
menyatakan izin operasional Buddha Bar tak menyalahi aturan. Keberadaannya
memenuhi unsur legal. Demikian disampaikan Kepala Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan DKI Jakarta, Arie Budhiman. "Penggunaan gedung cagar budaya eks
kantor Imigrasi tersebut juga tak menyalahi peruntukan karena difungsikan untuk
restoran," kata dia. Meski menggunakan nama "Buddha Bar", bukan
berarti sebagai tempat hiburan. Penggunaan kata 'Bar' diartikan sebagai tiang
atau penyangga. "Buddha Bar itu restoran, bukan bar," ujarnya.
(3) VivaNews : Indonesia Corruption Watch
(ICW) meminta agar Pemerintah Daerah DKI Jakarta menjelaskan kepada publik
mengenai prosedur pengalihan cagar budaya gedung bekas kantor imigrasi menjadi
Buddha Bar. "Pemda harus menjelaskan apa ada potensi konflik kepentingan
dari pengalihan gedung ke swasta itu," kata Agus Sunaryanto, Kepala Divisi
Investigasi dan Informasi Publik ICW. ICW juga meminta agar Pemerintah
menjelaskan transparansi dana-dana Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) yang telah
dikeluarkan untuk melindungi gedung yang bernama asli Bataviasche Kunstkring
itu.
Agak
heran juga ketika membaca pernyataan Gubernur DKI seperti tertulis pada berita
(1), karena jelas-jelas dua tokoh nasional yakni Ketua Umum DPP PKB Muhaimin
Iskandar dan Ketua DPRD DKI Jakarta Ade Surapriyatna telah merujuk kepada
Gubernur untuk membantu penyelesaian kasus Buddha Bar ini. Sikap Gubenur yang
berkesan ‘cuci tangan’ ini membuat saya kembali berandai-andai, apakah Pak
Gubernur juga akan mengatakan hal yang sama bila yang menjadi masalah adalah
‘Islam Bar’ atau ‘Jesus Bar’ ?
Dan
kembali pernyataan Dinas Pariwisata DKI Jakarta di berita (2) juga menimbulkan
tanda tanya besar. Mungkin benar pernyataan Arie Budhiman ini bahwa ijin
operasional Buddha Bar legal, karena kalau tidak legal tentu saja tidak bisa
beroperasi. Ini adalah kenyataan umum yang sudah diketahui orang Indonesia,
terutama yang ingin membuka usaha. Yang menjadi tanda tanya adalah Pak Arie
berusaha menutup-nutupi fungsi pemakaian bangunan yang sebenarnya merupakan
cagar budaya klasifikasi A dengan menekankan bahwa usaha yang dilakukan Buddha
Bar adalah usaha restoran, bukan bar, bahkan dengan naif-nya menyatakan bahwa
arti kata ‘Bar’ dalam ‘Buddha Bar’ adalah tiang. Saya yakin bahwa pemilik
franchise Buddha Bar sendiri si George Visan akan tidak sependapat dengan Arie
Budhiman soal ini. Dan seluruh pemegang franchise Buddha Bar tahu dengan jelas
arti kata ‘Bar’ itu.
Kita
tidak akan tahu dasar Arie Budhiman membuat pernyataan tersebut. Tapi sebagai
bagian dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Arie seharusnya tahu dengan jelas
batasan-batasan penggunaan cagar budaya sekelas Bataviasche Kunstkring. Sebagai
gedung pusat seni Batavia, di masa jayanya, gedung ini pernah menjadi saksi
dari berbagai seni dunia, mulai dari pameran arsitektur Hindia (1925), pemeran
kreasi seni dari perak (1935), pameran adi karya seniman dunia March Chagall,
Van Gogh, Pablo Picasso (1936), pameran kristal Czechoslovakia (1936), dan
menjadi tempat pameran buku dan lukisan era Batavia di masa tersebut. Dan
Bataviasche Kunstkring juga bukan sembarang cagar budaya, tapi adalah cagar
budaya klasifikasi A, yang sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta
nomor D.IV-6098/d/33/1975 maka Bataviasche Kunstkring dilarang dibongkar atau
diubah.
Lebih
jauh lagi, pemakaian Bataviasche Kunstkring yang merupakan cagar budaya ini
harus tunduk pada Undang-Undang RI No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Di Bab VI tentang Pemanfaatan tertulis:
Pasal 19
(1) Benda cagar budaya tertentu dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak dapat dilakukan dengan cara atau apabila :
a.
bertentangan
dengan upaya perlindungan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2);
b.
semata-mata
untuk mencari keuntungan pribadi dan/atau golongan.
(3) Ketentuan tentang benda cagar budaya
yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan cara pemanfaatannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Pemerintah
dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya apabila
pelaksanaannya ternyata berlangsung dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2).
Buddha
Bar yang menggunakan gedung cagar budaya ini jelas-jelas telah melanggar
ketentuan pasal 19 ayat 2 butir b. Dan sesuai dengan pasal 20, sebenarnya
pemerintah Indonesia dapat menghentikan pemanfaatan Bataviasche Kunstkring
untuk keuntungan pribadi ini.
Walau
ICW telah meminta dari sejak Maret 2009, sudah satu tahun berlalu, dan Pemda
DKI Jakarta masih belum menjelaskan secara transparan proses pengalihan fungsi
gedung dari gedung imigrasi menjadi Buddha Bar, serta bagaimana alur dana yang
telah dialokasikan pemerintah dari APBD Jakarta untuk membeli kembali gedung
ini dari PT. Mandala Griya Cipta di tahun 2002 dan kemudian memugarnya. Tersiar
kabar bahwa pembelian kembali dan pemugaran gedung ini menghabiskan lebih dari
Rp. 30 Milyar dana APBD. Dan kemudian gedung ini disewakan kepada PT. Nireta
Vista Creative, pengelola Buddha Bar, hanya dengan harga Rp 800 juta per tahun.
Penyewaan
Bataviasche Kunstkring kepada swasta yang kemudian dijadikan tempat hiburan
malam Buddha Bar, sungguh jauh dari komitmen awal pemerintah Jakarta saat
membeli kembali cagar budaya ini yakni sebagai ruang publik. Bahkan sebuah
sayembara pernah diselenggarakan untuk menjaring ide kreatif pemanfaatan gedung
tersebut, dan keluar sebagai pemenang Dastin Hillery, Suci Mayang Sari, dan
Agus Surja Sadana. Konsep ketiganya bila disatukan adalah menjadikan gedung
bersejarah ini sebagai gedung perikatan seni, komunitas seni arsitektur
Indonesia, dan restoran bernuansa tempo dulu. Benar-benar menjadi ruang publik
yang bisa diakses oleh publik secara bebas kapan saja. Manakah dari konsep
ruang publik ini yang kemudian di(salah)terjemahkan menjadi Buddha Bar?
14 Maret
2009
Demo
damai dari Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi). Sekitar 200
umat Magabudhi termasuk 4 orang bhikkhu, meminta bar tersebut ditutup atau
diganti namanya. Demo damai dengan membawa lilin, bunga, manyalakan dupa, dan
membaca paritta.
Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) meminta agar izin pendirian tempat hiburan Buddha
Bar di Jakarta belum lama ini ditinjau kembali sebagai bentuk perlindungan
terhadap umat beragama di Indonesia khususnya umat Buddha. “Jika memang Buddha
Bar telah benar-benar melecehkan umat Buddha maka harus dipertimbangkan untuk
dicabut izin operasinya,” kata Ketua Umum DPP PPP, Suryadharma Ali, di Jakarta,
Sabtu. Ia mengatakan, Buddha merupakan salah satu agama yang diakui di
Indonesia sehingga harus mendapat perlindungan dan penghormatan. “Prinsipnya
adalah menghormati dan melindungi agama. Di dalamnya juga termasuk menghormati
apa yang dihormati oleh agama itu sendiri,” katanya.
16 Maret
2009
Demo
dari Kesatuan Umat Buddha Anti Buddha Bar. Aksi demo dilakukan di depan Istana
Negara dan gedung DPRD DKI Jakarta. Para pendemo sempat bertemu dengan Wakil
Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Vike Verry Ponto.
Dikutip
dari Detik Com:
100
Orang dari Forum Umat Buddha Anti Buddha Bar akhirnya bertemu Wakil Ketua
Komisi A DPRD DKI Jakarta Vike Verry Ponto. Kepada Vike, perwakilan umat Buddha
ini meminta agar DPRD DKI Jakarta segera menutup Buddha Bar karena dianggap
melecehkan agama Buddha. “Di Buddha Bar ada patung Buddha di mana juga ada
ornamen simbol keagamaan kami. Tetapi di depannya ada sepasang muda-mudi ciuman
jilat-jilatan. Itu sangat melecehkan agama kami. Makanya kami menginginkan
ditutup saja Buddha Bar,” ujar salah seorang perwakilan umat Buddha di kantor
DPRD DKI Jakarta, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Senin (16/3/2009). Menanggapi
permintaan para pendemo, Vike mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat
kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk segera menyelesaikan permasalahan
ini secepatnya. Surat itu sudah dikirim pada 10 Maret 2009. “Karena Buddha Bar
memang melanggar aturan hukum yaitu pelecehan dan penodaan agama,” tegasnya.
Saat ditanyakan pengalihan gedung Buddha Bar yang diketahui milik kantor
Imigrasi, Vike menjawab,”Itu yang tahu Komisi B.”
17 Maret
2009
Dikutip
dari berita di media:
(1)
Sriwijaya Post : Komisi B DPRD DKI Jakarta yang membidangi perekonomian akan memanggil
empat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait dengan beroperasinya Budha
Bar di kawasan permukiman penduduk dan cagar budaya tersebut, yaitu Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan terkait pemberian izin operasional tempat hiburan,
Dinas Tata Kota (DTK) menyangkut peruntukan kawasan Menteng, Dinas Pengawasan
dan Penataan Bangunan (P2B) untuk peralihan izin penggunaan bangunan (IPB),
serta Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) menyangkut penggunaan aset daerah.
“SKPD ini harus menjelaskan kronogis keberadaan Buddha Bar hingga bisa menjadi
bar atau restoran. Bangunan itu seharusnya untuk museum kok ujung-ujungnya bisa
menjadi tempat usaha komersial?,” kata Nurmansyah. Nurmansyah juga
mempertanyakan biaya renovasi menggunakan APBD sekitar Rp 5 miliar yang belum
lama ini dilakukan namun sekarang malah dihuni swasta untuk usaha komersial.
(2)
Harian Analisa : PDI Perjuangan secara tegas mendukung penutupan Buddha Bar.
Dukungan disampaikan Ketua DPP PDI Perjuangan yang juga ketua DPD PDI
Perjuangan Sumatera Utara Panda Nababan ketika menjadi pembicara dalam seminar
Politik vs Ekonomi di Exchange Club, Selasa (17/3) malam. “PDI-Perjuangan
secara tegas mendukung penutupan Buddha Bar, meski ada isu adanya keterlibatan
putri Ketua umum kami”, tegas Panda Nababan. Lebih lanjut Panda Nababan
mengatakan, keyakinan tidak terlibatnya Puan Maharani dalam usaha tersebut ia
peroleh sejak tiga bulan lalu dari Taufik Kiemas, ayah Puan Maharani yang juga
ketua dewan pertimbangan Pemilu DPP PDI-Perjuangan. Panda Nababan yang berbicara
didampingi bendahara DPD PDI Perjuangan Sofyan Tan mengatakan, penggunaan empat
agama yakni Islam, Kristen, Buddha dan Hindu dalam setiap acara menunjukkan
kalau PDI Perjuangan mencintai keberagaman.
Dikutip
dari berita di media:
(1)
BeritaJakarta.com : Setelah melalui perundingan yang alot, Direktorat Jenderal
Bimas Buddha Departemen Agama memastikan restoran Buddha Bar tetap
diperbolehkan beroperasi tanpa ada penyegelan. "Saya mengimbau pemilik
restoran Buddha Bar untuk merekomendasikan pergantian nama ke Perancis. Dan
restoran Buddha Bar tetap diperbolehkan beroperasi," ujar Budi Setiawan,
di gedung Ditjen Bimas Buddha Depag, Jakarta, Rabu (18/3). Pihaknya, kata Budi,
juga telah memohon kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meninjau ulang izin tetap usaha
dagang Buddha Bar melalui surat pada 15 Januari 2009. “Dan itu telah dilakukan
oleh Pemprov DKI,” terang Budi. Pemprov DKI menyatakan tidak ada kesalahan
dalam proses izin tetap usaha dagang Buddha Bar karena telah terdaftar di
Ditjen HaKI Departemen Hukum dan HAM. Lagian, nama restoran itu merupakan
franchise dari perusahaan induk di Perancis yang juga sah ketetapan hukumnya.
(2)
DetikCom : “Bapak JS sanggup untuk menginformasikan keadaan ini kepada pihak
pemilik franchise Buddha Bar di Paris serta Bapak JS juga telah merencanakan
nama lain sebagai pengganti Buddha Bar,” ujar Dirjen Bimas Buddha Depag Budi
Setiawan. Hal itu disampaikan Budi dalam jumpa pers di kantor Depag, Jl
Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/3/2009). Budi berharap agar pergantian
nama Buddha Bar dilakukan secepat mungkin. Budi juga menyatakan pihaknya telah
meminta bantuan kepada Dubes RI di Paris untuk mengeluarkan surat yang
menginformasikan bahwa PT NVC akan mengganti nama Buddha Bar.
(3)
BeritaJakarta.com : Ketua Dewan Pembina Generasi Muda Buddhis Indonesia
(Gemabudhi), Lieus Sungkharisma, menilai bahwa penolakan umat Buddha beraliran
Theravada yang keberatan atas keberadaan patung Buddha di restoran Buddha Bar
sangat tidak beralasan. Sebab, patung Buddha yang dipajang di restoran itu
merupakan patung Buddha yang diagungkan umat Buddha beraliran Mahayana. “Jadi
sangat tidak berdasar jika umat Buddha beraliran Theravada memprotes keberadaan
patung-patung Buddha di restoran Buddha Bar itu,” tegasnya.
Pernyataan
dari orang yang paling sering membela Buddha Bar pada berita (3) ini secara
gamblang menunjukkan betapa sempitnya pemikiran orang yang diangkat sebagai
Ketua Dewan Pembina Gemabudhi ini. Dan betapa sedikitnya pemahamannya tentang
agama Buddha. Buddha tidak pernah menciptakan aliran. Aliran yang ada saat ini
terbentuk hanya karena adanya asimilasi (peleburan) dari budaya dan tradisi
dari masing-masing daerah di belahan dunia ini dengan ajaran Buddha. Namun inti
ajaran Buddha hanya satu, di aliran apapun itu.
Dikutip dari
Inilah.com :
Gus
Dur dalam acara ‘Kongkow bareng Gus Dur’ di Kedai Tempo, Utan Kayu, Jakarta
menyatakan, “Kita semua menjadi korban arogansi Polri. Karena Polri belum
sedikit pun menggerakkan jarinya menyikapi Buddha Bar.” Ditegaskan, seharusnya
bila sudah benar terbukti ada upaya menggunakan lambang agama, maka keberadaan
Buddha Bar tidak boleh diteruskan. Bila ada sesuatu tindakan meng-agama-kan
hal-hal yang bukan agama, seharusnya dilarang.
22 Maret
2009
Dikutip
dari VivaNews :
Ratusan
umat Buddha yang tergabung dalam Solidaritas Umat Buddha Makassar, Sulawesi
Selatan berunjukrasa mengecam dan mendesak ditutupnya Buddha Bar di Jakarta.
Selain berorasi di Monumen Perjuangan Mandala, Makassar, Sulawesi Selatan,
pengunjukrasa juga membaca puisi dan mengumpulkan tanda tangan dengan target
sejuta orang. Pengumpulan tandatangan juga dilakukan sejumlah organisasi dari
umat agama lain, seperti Islam, Kristen dan Katolik yang juga ikut hadir dalam
aksi itu.
Dikutip
dari VivaNews :
Sepuluh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta mendatangi restoran Buddha Bar.
Dari sisi penggunaan bangunan bersejarah, pengelola Buddha Bar tidak menyalahi
aturan. Sekretaris Komisi B DPRD DKI, Nurmansyah Lubis menyatakan, “Kabarnya,
pengelola Buddha Bar sudah menghabiskan dana Rp 100 miliar untuk merenovasi
bangunan.” “Buddha Bar ini sudah ada persetujuannya dari Gubernur. Pengelola
diberikan kepada pihak ketiga karena bangunan ini mempunyai nilai dan biaya
yang tinggi. Jadi bukan hal yang aneh bila suatu bangunan bersejarah dikelola
swasta.” “Kunjungan ini juga untuk menelusuri seberapa jauh pengelola Buddha
Bar telah merenovasi dan menggunakan bangunan ini,” ujar dia. Kedatangan para
wakil rakyat Jakarta ini untuk menindaklanjuti rapat kerja dewan tiga instansi.
Rapat kerja bersama itu dihadiri Dewan Legislatif, Dinas Pariwisata, dan
pengelola Buddha Bar. Jadi menurut Nurmansyah, penggunaan gedung sudah dengan
ketentuan.
30 Maret
2009
Dikutip
dari berbagai media :
(1)
Detik.com : FABB (Forum Anti Buddha BAR) mengadakan aksi unjuk rasa dengan
jumlah massa sekitar 2.000 orang ke : Kedubes Perancis, DPRD DKI Jakarta, Dinas
Pariwisata Jakarta, dan tempat hiburan malam Buddha Bar. Perwakilan Dubes
Perancis menyatakan akan memperingatkan pengusaha Night Club Buddha Bar yg
berada di Perancis. Selain massa dari unsur agama Buddha seperti Himpunan
Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmah Budhi), unjuk rasa juga diikuti oleh massa
dari agama lain di antaranya Gerakan Pemuda Anshor, Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia, Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Kesatuan Mahasiswa Hindu
Dharma Indonesia. Saat demo ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta, Pihak
Dinas Pariwisata mengaku tidak punya wewenang soal penggantian nama Buddha Bar.
Penentang Buddha Bar diminta untuk mengadukannya ke Ditjen HAKI. “Nama Buddha
Bar telah disahkan oleh Ditjen HAKI. Kami berada di posisi hilir. Persyaratan
hukum telah disetujui,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Jakarta Selatan, Ari
Budiman di kantornya, Jl Mampang Prapatan, Jakarta, Senin (30/3/2009).
(1)
Website DPRD Propinsi DKI Jakarta : Masyarakat yang menolak kehadiran Buddha
Bar di Menteng, Jakarta Pusat kembali mendatangi DPRD DKI Jakarta dan minta
diterima Komisi E karena menyangkut penistaan agama. Namun mereka hanya bertemu
dengan Ernawati Sugondo, anggota Komisi B DPRD DKI yang juga menentang
keberadaan Buddha Bar. “Komisi B sudah mendapat masukan keliru soal Buddha Bar
dari mantan ketua Generasi Muda Budhis Indonesia. Harusnya Komisi B juga dapat
masukan dari umat yang anti Buddha Bar,” ucap Ernawati, Senin (30/3). Persoalan
Buddha Bar, sudah menyangkut agama dan tidak ada alternatif lain kecuali harus
ganti nama. “Ini Indonesia ada Pancasila yang umatnya punya toleransi tinggi
memelihara kerukunan antarumat beragama, Indonesia bukan Perancis,” tandasnya.
Sementara
surat edaran yang ditandatangani Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha Departemen
Agama (Depag), Budi Setiawan No. DJ.VI/2/BA.00/202/2009 menyebutkan bahwa
perintah lisan Menteri Agama kepada Dirjen Bimas Buddha untuk menyelesaikan
kasus Buddha Bar secara persuasif. Karena itu, pimpinan PT Nireta Vista
Creative sebagai pengelola Buddha Bar yelah menyanggupi mengganti nama lain
dengan tidak menggunakan kata Buddha. Dirjen Bimas Buddha juga telah
mengeluarkan surat edaran tentang larangan penggunaan nama Buddha untuk merek
dagang usaha tetap hiburan di antaranya tidak memberikan rekomendasi terhadap
usaha dagang hiburan yang akan menggunakan nama Buddha seperti Buddha Bar,
Buddha Spa, Buddha Disco, Buddha Cafe dan lainnya. Selain itu, Dirjen pun sudah
mengirim surat kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meninjau ulang ijin tetap
usaha pariwisata Buddha Bar di Menteng yang telah dikeluarkan.
2 April
2009
Dikutip
dari Tempo Interaktif:
Sekitar
750 org massa dari FABB (Forum Anti Buddha Bar) berunjuk rasa ke Ditjen. HaKI
(Hak dan Kekayaan Intelektual). Ditjen Haki mengaku TELAH LALAI memberikan ijin
merek kepada night club Buddha Bar karena mereka sendiri dari awalnya telah
melanggar Undang-Undang nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. “Apa pun (ijin
merek) bisa dicabut,” kata Andi N. Someng, Direktur jendral HAKI usai menemui
perwakilan FABB di kantornya. Andi mengatakan pihaknya akan memanggil pihak
terkait termasuk Pemda DKI pemberi ijin usaha dan pengusahanya. “Kami akan
bekerja dalam 14 hari sesuai hasil kesepakatan dalam pertemuan, mudah-mudahan
ini cepat teratasi,” kata Andi.
Sementara
itu, kuasa hukum umat Budha Sunarjo Sumargono mengatakan dalam pertemuan
tersebut Ditjen HAKI juga mengakui adanya kelalaian menyangkut pemberian ijin
merek dagang. Apalagi jelas-jelas dalam Konvensi Paris 1883 tentang hak
kekayaan industrial terkandung muatan tidak boleh ada merek yang mengandung
unsur agama atu meresahkan kehidupan sosial masyarakat. "Indonesia adalah
salah satu anggota WTO yang notabene harus tunduk kepada konvensi itu,"
kata Sunarjo.
6 April
2009
Dikutip
dari Republika:
Pemilik
Hiburan Malam Buddha Bar HAJI Djan Faridz dalam pernyataannya kepada media
massa berjanji bahwa Hiburan Malam Buddha Bar akan menurunkan Papan Mereknya
dan selanjutnya tidak akan mempergunakan lagi nama Buddha di dalam usaha
Hiburan Malam tersebut. Hal ini ditegaskannya ketika berkunjung ke kantor
Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni yang juga dihadiri oleh Dirjen Bimbingan
Masyarakat Buddha Budi Setiawan.
15 April
2009
Ditjen.HaKI
(Direktorat Jenderal Hak dan Kekayaan Intelektual) Depkumham RI melalui Surat
Direktur Merek Bernomor: HKI.4.HI.06. 03-68 tanggal 15 April 2009 tentang
Penarikan Merek Buddha-Bar. Maka dengan demikian segala sesuatu penggunaan
Merek dan Atribut Buddha Bar serta segala sesuatu kegiatan yang berkaitan
dengan merek Buddha Bar yang berpusat di Perancis ini adalah tidak sah di
Indonesia. Dengan adanya Pembatalan atas merek Hiburan Malam Buddha Bar ini,
maka dengan sendirinya Surat Izin Usaha yang diterbitkan oleh Dinparbud DKI
Jakarta ini TELAH MEMILIKI CACAT HUKUM, karena PT. Nireta Vista Creative sudah
tidak berhak menjadi Pemegang Franchise ataupun Pemegang Lisensi Buddha Bar di
Indonesia lagi, dan Merek Buddha Bar sudah tidak berhak dipergunakan lagi di
Indonesia.
Hal
ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan melalui Peraturan Pemerintah RI
Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba, dimana pada Bab II pasal 3 tertulis :
Waralaba
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. memiliki ciri khas usaha ;
b. terbukti sudah memberikan keuntungan ;
c. memiliki standar atas pelayanan dan
barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis ;
d. mudah diajarkan dan diaplikasikan ;
e. adanya dukungan yang berkesinambungan ;
dan
f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah
terdaftar.
21 April
2009
Dikutip
dari TvOne :
Buddha
Bar berganti nama. Tempat hiburan di pangkal Jalan Teuku Umar Menteng ini kini
bernama 'Bataviasche Kunstkring'. Manager Operasional Buddha Bar, Hendri
Marheroso, Selasa 21 April 2009, mengatakan, nama itu dipilih untuk
mengabadikan nama asli gedung sejarah yang ditempati Buddha Bar. Penggantian
nama diresmikan dengan penurunan papan nama Buddha Bar yang melekat di gedung
tersebut. "Ini bentuk penghormatan managemen terhadap menteri agama,"
ujarnya. "Tidak ada niat sedikit pun untuk melukai umat Buddha di
Indonesia." Meski telah berganti nama menjadi Bataviasche Kunstkring,
Buddha Bar tetap membiarkan ruangannya dipenuhi ornamen Buddha. Manager
Operasional Buddha Bar, Henry Marheroso, beranggapan ornamen tersebut bagian
dari keindahan ruang usahanya. "Kami belum ada rencana mengubah ornamen
yang sudah terpasang di sini," ujarnya, Selasa 21 April 2009. Lagipula,
kata Henry, untuk melepas patung-patung Buddha dan ornamen yang telah terpasang
membutuhkan izin dari pemegang lisensi Buddha Bar di Prancis. "Kami masih
menunggu keputusan dari mereka (pemegang lisensi)," ujarnya.
23 April
2009
Dinas
Pariwisata & Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta mengeluarkan surat Kepada
Pemilik untuk memperbaiki merek dan semua ornamen (Buddha) nya jika ingin
memperpanjang usahanya. batas waktu yg diberikan adalah 30 hari sejak surat
dikeluarkan hingga 23 Mei 2009.
Mei 2009
PT.
Nireta Vista Creative mem-PTUN-kan Kepala Dinas Pariwisata & Kebudayaan
Propinsi DKI Jakarta untuk kasus Perijinan dengan nomor perkara
73/G/2009/PTUN-JKT.
Juni 2009
George
V Eatertainment selaku pemegang lisensi franchise Buddha Bar, mengugat Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI untuk kasus Merek dan tercatat dengan nomor
perkara 97/G/2009/PTUN-JKT.
13 Juni 2009
Liputan6.com
:
Keberadaan
Buddha Bar di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, masih mendapat penolakan
keras khususnya dari umat Buddha. Forum Masyarakat Lintas Agama, Sabtu (13/6)
malam, kembali menyuarakan penolakan penggunaan atribut agama pada Buddha Bar.
Namun aksi damai melalui renungan suci ini urung diadakan. Massa yang berjumlah
sekitar 200 orang tidak diperkenankan mendekati pertigaan Jalan Teuku Umar, di
depan Buddha Bar. Menurut perwakilan masyarakat lintas agama, Kevin Wu,
pihaknya telah mengajukan pemberitahuan kepada polisi. Lebih lanjut Kevin
menegaskan pemilik dan pengelola Buddha Bar telah membohongi publik. Sebab
hingga kini penggunaan atribut agama masih berlanjut. Ia mengimbau calon-calon
pemimpin negara memberi perhatian pada persoalan ini. Sejumlah perwakilan
masyarakat lintas agama, sempat menyatakan sikap dan melakukan doa bersama di
bawah pengawasan aparat sebelum membubarkan diri.
DetikCom :
Banyak
hal dikeluhkan komunitas etnis Tionghoa kepada cawapres Prabowo Subianto,
termasuk salah satunya soal keberadaan Buddha Bar di kawasan Menteng, Jakpus.
Prabowo pun berang dengan diubahnya kembali nama bar itu dengan nama yang
berpotensi melecehkan agama tertentu. “Kalau diubah lagi, dablek (keras kepala)
namanya,” kata Prabowo di hadapan Forum Demokrasi Kebangsaan Masyarakat
Tionghoa di Restoran Nelayan, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (13/6/2009). Acara
juga dihadiri beberapa bhiksu. Seperti diberitakan, Buddha Bar yang merupakan
usaha waralaba asal Prancis itu sempat mengurungkan niat penggunaan nama
‘Buddha’ setelah diprotes oleh sejumlah aktivis lintas agama. Namun hal itu
batal dilakukan, bahkan publikasi tempat hiburan berkelas itu terus gencar
dilakukan dengan nama yang sama. “Tidak tepat membuat restoran atau tempat
hiburan memakai nama agama tertentu,” saran pendamping Mega ini. Prabowo
menjelaskan, semua hal yang berhubungan dengan SARA di Indonesia sangatlah
berpotensi menimbulkan kerawanan. Bahkan untuk hal-hal yang tidak disadari
sekalipun. “Apalagi ini yang jelas ada perencanaannya,” pungkas Prabowo seraya
mengatakan Indonesia jauh berbeda dengan Prancis yang sekuler.
14 Juni
2009
MediaIndonesia.com
:
Kepala
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta Arie Budiman meminta
berbagai pihak menahan diri dalam kasus pro dan kontra tentang Buddha Bar. Ia
juga meminta semua pihak menghormati upaya hukum yang sedang berlangsung di
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pro dan kontra keberadaan
restoran Buddha Bar kembali mencuat setelah PT Nireta Vista Creative (NVC)
menggugat Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu diajukan terkait surat yang
dilayangkan Kepala Disparbud DKI kepada PT NVC. “Dalam kasus ini kan banyak
yang berkepentingan. Jadi biarkan saja mereka (FABB) bermain sesuai kepentingan
masing-masing,” kata Arie Budiman di Jakarta, Minggu (14/6). Sebagai warga yang
patuh terhadap hukum, tambahnya, dirinya tetap akan mengikuti proses hukum yang
sedang berlangsung. Kalaupun ada isu-isu negatif yang menimpa dirinya biarkan
saja itu terjadi. “Yang penting jangan sampai ada politisasi dalam persoalan
ini,” tegas Arie Budiman.
Ia
menambahkan sambil menunggu proses hukum yang sedang berjalan pihaknya tidak
akan menindaklanjuti “Surat Pemberitahuan” yang sebelumnya dikirimkan ke PT
Nireta Vista Creative (NVC) sebagai pemilik Budha Bar. Sesuai prosedur,
sambungnya, Disparbud akan memberikan kuasa kepada Biro Hukum DKI untuk
mewakili. “Hingga saat ini belum ada penjelasan hukum lebih lanjut dari Kepala
Biro Hukum mengenai surat peringatan yang disampaikan kepada pihak majemen
Buddha Bar. Kita tunggu saja apa hasil keputusan dari PTUN. Tapi jika wacana
yang muncul berbeda, dan kita bisa tetap proses lebih jauh surat tersebut maka
hal itu akan kita lakukan,” jelasnya.
Kasus
Kepala Disparbud Jakarta ini hampir mirip dengan kasus Prita yang membuat surat
komplain dan harus berhadapan dengan pengadilan. Bedanya Disparbud adalah
institusi resmi pemerintah, dan surat yang dipermasalahkan bukan surat komplain
atau perintah penutupan, tapi surat pemberitahuan saja. Namun hanya dengan
surat pemberitahuan inipun sang buaya berang dan sang cicak terdiam tak berani
bersuara lagi. Dan mungkin dengan arogansi inilah pihak Buddha Bar entah sejak
kapan kemudian memasang kembali papan namanya. Seolah-olah menjilat kembali
ludah mereka sendiri, tempat hiburan malam di kawasan Menteng ini membuang nama
‘Bataviasche Kunstkring’ dan dengan bangga kembali memasang papan nama ‘Buddha
Bar’. Bedanya bila saat menurunkan papan nama dilakukan secara besar-besaran
dengan diekspos oleh puluhan media massa, pada saat dinaikkan kembali diam-diam
supaya tidak ketahuan masyarakat.
18 Juni
2009
DetikNews.com:
Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assidiqie mengatakan pemerintah harus ikut
campur mengatasi konflik Buddha Bar. Jika negara harus ikut campur
menyelesaikan konflik itu, semua umat akan memberikan dukungan. “Dalam
persoalan Buddha Bar ini terkait negara, masyarakat dan bisnis. Persoalan ini
persoalan serius, negara harus bergerak tidak boleh dibiarkan,” kata Jimly.
Jimly mengatakan itu dalam diskusi bertajuk “Kepentingan Komersil Vs Kesucian
Agama dalam Konteks Buddha Bar” di Gedung WTC Sudirman, Jl Sudirman, Jakarta
Pusat, Jumat (18/6/2009). Jimly menegaskan, bila umat Buddha masih tidak puas
dengan pergantian nama bar itu bisa ditempuh dengan jalur hukum, baik lewat
perdata maupun pidana. “Karena pengadilan dibentuk memang untuk mengatasi
persoalan seperti ini,” terangnya. Jimly mengatakan, semua hakim akan melihat
persoalan bar yang merupakan franchise dari Perancis ini dengan serius. Hakim
akan memutuskan dengan perasaan keadilan dalam memberikan putusan. “Negara itu
dirigen. Dalam hal seperti ini jadi perlu ikut campur,” imbuh alumni Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) ini.
19 Juni
2009
RRI News :
Keberadaan
Buddha Bar di jalan Teuku Umar Menteng, Jakarta Pusat dinilai Pengurus Pusat
Majelis Buddhayana Indonesia (PP MBI) sah sepanjang tidak menggunakan ornamen
dan simbol-simbol agama. “Kami tidak melarang sebuah perusahaan restoran bar
itu beropera si asalkan simbol-simbol agama Buddha itu telah diturunkan,” kata
Ketua Umum PP MBI, Sudhamek AWS, di Jakarta, Jumat (19/6). Pernyataan Sudhamek
tersebut diungkapkan saat pertemuan antara tokoh agama, para intelektual yang
digagas oleh Forum Anti Buddha Bar (FABB) yang dihadiri sejumlah tokoh agama di
ibukota. Hadir pada pertemuan tersebut diantaranya tokoh NU Said Agil, Jimly
Asshiddiqie (pakar hukum tata negara ), J. Kristiadi (pengamat politik), Masdar
Mas`ud (tokoh lintas agama), Yudi Latif (pengamat politik muda dari Universitas
Paramadina) dan beberapa tokoh agama dan aliran kepercayaan.
Menurut
Sudhamek seperti dilansir Antara, permasalahan yang dihadapi umat Buddha
terkait adanya bangunan antik di ibukota menggunakan simbol Buddha Bar itu,
merupakan bentuk pelecehan bagi ajaran Buddha. “Sebenarnya permasalahan ini
sudah kami sampaikan ke pihak Pemerintah Provinsi DKI dalam hal ini gubernur
serta pihak kepolisian namun hingga saat ini belum ada tanggapan yang serius
terhadap penggunaaan simbol Buddha Bar oleh perusahaan tersebut. Bagi umat
Buddha, kasus Buddha Bar merupakan suatu tindakan pidana yaitu sebagaimana yang
diancam oleh delik penodaan dan penistaan agama, dalam hal ini agama Buddha
telah dinodai ole h PT Nireta Vista Creative (perusahan pemegang
lisensi/pemilik Buddha Bar di Indonesia).” Ia mengatakan, pihaknya masih
memberi toleransi kepada pihak perusahaan agar tidak lagi menggunakan
simbol-simbol Buddha Bar dalam perusahaan itu. Apalagi, perusahaan Buddha Bar
merupakan suatu tempat usaha yang menjual minuman keras beralkohol tinggi, yang
dapat menurunkan kesadaran seseorang atau dengan kata lain bar menjual minuman,
sangat bertentangan dengan ajaran agama.
Tokoh
NU Said Agil mengatakan, langkah yang diambil umat Buddha mempertemukan
sejumlah tokoh agama dan intelektual terkait memprotes sebuah perusahaan di
tanah air yang memakai simbol agama adalah patut dihargai karena itu sudah
merupakan pelanggaran pidana. “Agama apapun, di tanah air ini bila
simbol-simbol kepercayaan itu digunakan bukan pada tempatnya maka umatnya pasti
akan sakit hati dan tentu akan melawan,” katanya. Oleh karena itu, ia juga minta
kepada perusahaan yang telah menggunakan simbol Buddha agar meminta maaf kepada
pemeluk agama Buddha.
Kompas.com
:
Nama,
simbol, atau ornamen apa pun yang berhubungan dengan agama tertentu dilarang
digunakan untuk segala kegiatan komersil apalagi untuk usaha tempat hiburan.
“Kok tidak punya perasaan menggunakan nama Buddha untuk bar yang menjadi tempat
hiburan, minum bir, dan anggur,” ungkap tokoh agama Frans Magnis Suseno saat
jumpa pers mengecam dibukanya Buddha Bar di Jakarta, Jumat (19/6). Ikut hadir dalam
jumpa pers tersebut para tokoh lintas agama, pakar hukum, hingga politikus.
Frans Magnis mengatakan, penggunaan simbol agama dalam kegiatan komersial
sangat bertentangan dengan ajaran agama yang ingin membebaskan manusia dari
kepentingan komersial. “Agama membuka wawasan bahwa komersial hanya sepotong
kecil dari kehidupan,” ucapnya.
Sedangkan
menurut Musda Mulia dari Indonesian Conference of Religion in Peace, kasus
Buddha Bar menunjukkan bahwa di Indonesia telah memasuki defisit demokrasi yang
menganggap bebas melakukan apa saja. “Contohnya menggunakan apa saja untuk
kepentingan pasar,” ucapnya. Selain itu, katanya, adanya salah persepsi dalam
masyarakat tentang kebebasan beragama yang diartikan juga bebas berbuat apa
saja. “Itu salah. Di negeri ini agama digunakan untuk kedamaian bukan
kebencian,” tegasnya.
Pendapat
senada juga dikatakan pakar hukum Jimly Ashidiqqie, bahwa masalah Buddha Bar
adalah masalah serius yang harus diselesaikan melalui proses hukum. “Tugas
pengadilan untuk mengatasi masalah tersebut. Pidanakan orangnya, gugat
perdata,” lontarnya. Ia juga menilai, sudah seharusnya pemerintah ikut campur
dalam menyelesaikan konflik antara masyarakat, negara, serta bisnis tersebut.
“Negara tidak boleh membiarkan itu terjadi,” tegasnya. Lain lagi dikatakan
pengamat politik Yudi Latif, bahwa pengelola Buddha Bar telah melanggar hak
asasi manusia. “Negara harus mencegah segala pelecehan dan harus melindungi
seluruh agama,” tegasnya.
Kompas.com
:
Terus
berjalannya usaha Buddha Bar mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Sebanyak
19 tokoh dari lintas agama, budayawan, serta politisi mengeluarkan petisi agar
usaha Buddha Bar segera ditutup. “Kami telah melakukan berbagai cara, tetapi
Buddha Bar tetap berjalan. Dengan petisi ini, kami percaya akan membuahkan
hasil,” tegas Budiman dari Forum Anti Buddha Bar (FABB) saat jumpa pers di
Jakarta, Jumat (19/6). Buddha Bar yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Jakarta
mulai dibuka pada bulan November 2008. Setelah itu, bar tersebut mendapat
kecaman dari berbagai pihak khususnya umat Buddha karena menggunakan nama dan
simbol-simbol agama untuk kegiatan komersial.
Para
tokoh yang mendukung ditutupnya Buddha Bar tersebut antara lain Abdurrahman
Wahid, Frans Magnis Suseno, Jimly Ashidiqqi, Abdul Dubun Hakim, Mufid, Ahmad Syafii
Ma’arif, Din Samsudin, Ahmad Syafii, J Kristiadi, Komarudin Hidayat, Masdar
Mas’ud, Musda Mulia, Muslim Abdurahman, M Syafii Anwar, Nyana Suryanadi,
Sudhamek AWS, Yudi Latif, serta tokoh agama lainnya.
Para
tokoh tersebut sepakat bahwa agama sesungguhnya dimaksudkan untuk membangun
kedamaian, kebahagiaan umat manusia sehingga sangat tidak pantas menjadikan
nama suatu agama beserta ornamen dan simbol-simbolnya untuk kegiatan komersial,
dan akan merusak kesucian nilai spritual agama. “Kami tidak dapat menerima
penggunaan nama Buddha untuk kegiatan komersial, apalagi memperdagangkan
alkohol dan minuman keras lain,” ucap Budiman. Selain itu, penodaan dan
penistaan suatu agama merupakan suatu delik pidana yang harus ditindak secara
tegas oleh para penegak hukum. Petisi tersebut juga menyerukan kepada pemilik
Buddha Bar untuk segera mengganti nama usaha dan tidak lagi menggunakan ornamen
dan simbol-simbol Buddhis di dalam tempat usaha karena telah melukai perasaan
umat Buddha dan umat beragama lain. “Kami mendesak pemerintah baik pusat maupun
daerah untuk mengambil langkah tegas dalam waktu secepatnya,” tegasnya
B. Penyelewengan Yang Terjadi Dalam Kasus Buddha
Bar
Ketentuan
hukum untuk Merek di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang RI No. 5 tahun
2001. Dan bahwa merek Buddha Bar tidak dapat didaftarkan di Indonesia sebab
telah melanggar ketentuan yang tercantum pada Bab II Bagian Kedua tentang Merek
yang Tidak Dapat Didaftar dan yang Ditolak, yakni:
1. Pasal 5
Merek tidak dapat didaftar apabila
Merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini :
a.
Bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan,
atau ketertiban umum ;
b. Tidak memiliki daya pembeda ;
c.
Telah
menjadi milik umum ; atau
d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan
barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya
2. Pasal 6
(3)
Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
a.
Merupakan
atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki
orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak ;
b.
Merupakan
tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol
atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas
persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang ;
c.
Merupakan
tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh
negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak
yang berwenang
C. Penyelesaian
Sengketa yang Dilakukan Atas Penarikan Merek Dagang Buddha Bar oleh Ditjen HKI
di Indonesia
1.
Jalur Non Litigasi
Dalam
kasus pemanfaatan merek dagang Buddha Bar ini telah dilakukan mediasi dimana
pihaknya yaitu PT. Nireta Vista Creative dan Forum Anti Buddha Bar dimana
Dirjen HKI sebagai pihak mediatornya. Dalam pertemuan ini memberikan hasil
kepada Direktorat Jenderal HKI untuk menarik sertifikat merek dagang Buddha Bar
yang ada di Indonesia. Karena merek dagang Buddha Bar ini memicu keresahan
masyarakat yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam
hal ini PT. Nireta Vista Creative selaku wakil dari George V Entertainmen
pemilik dari merek dagang Buddha Bar ini harus menerima penarikan sertifikat
merek dagang Buddha Bar yang ada di Indonesia. Sehingga dengan adanya penarikan
merek dagang tersebut fungsi dan manfaat dari merek dagang Buddha Bar ini tidak
dapat digunakan secara maksimal. Tetapi PT. Nireta Vista Creative masih tetap
dapat menggunakan merek dagang tersebut akan tetapi tidak mempunyai legalitas
hukum seperti merek dagang yang didaftarkan pada umunya. Sehingga penggunaan
mediasi ini tidak menggunakan penyelesaian win- win solution melainkan salah
satu pihak harus menerima kesepakatan yang ada pada pertemuan mediasi ini.
Dimana penarikan sertifikat merek dagang Buddha Bar ini dilakukan oleh
Direktorat Jenderal HKI pada tanggal 15 April 2009, melalui suratnya No. HKI
4.HI.06.03-68 oleh Direktorat Merek mencabut sertifikat merek dagang Buddha
Bar. sehingga setelah tanggal tersebut PT. Nireta Vista Creative sudah tidak
mendapatkan perlindungan hukum.
2.
Jalur Litigasi
Penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi ini membuka peluang untuk mengajukan sengketa
supaya dapat diperiksa secara perdata, pidana maupun administratif. Di samping
kedua alternatif tersebut pemilik hak merek dapat mengajukan permohonan
penetapan sementara yang diatur di dalam Undang- Undang merek. Dalam hal ini
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual mendapat gugatan dari Pihak
Pemilik Merek dagang Buddha Bar dalam hal ini George V. Entertainment dalam
Pengadilan TUN mengenai penarikan merek dagang Buddha Bar yang telah terdaftar.
Dengan
adanya cara- cara yang dapat ditempuh melalui jalur normatif ini maka merujuk
pada kasus Buddha Bar, dengan menggunakan tiga sarana penyelesaian sengketa admintratif,
namun dalam pemanfaatan merek dagang Buddha Bar dimaksud, perlu juga
memerhatikan kewenangan masing- masing sarana litigatif pemanfaatan merek
dagang Buddha bar. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang- Undang Merek, komisi
banding hanya diperuntukkan untuk menyelesaikan sengketa adminstratif bidang
merek, khususnya yang berkaitan dengan permohonan banding karena adanya
penolakan permintaan pendaftaran merek. Dengan menggunakan dasar Pasal 33
Undang- Undang Merek lebih ditegaskan lagi bahwa sengketa dalam hal sengketa
administratif merek yang berkaitan dengan penolakan permohonan perndaftaran
jenis merek Hak Kekayaan Intelektual yang lain tidak dikenal adanya komisi
banding. Padahal pemanfaatan merek Buddha Bar dimaksud sudah terjadi
pendaftaran pada Dirjen HKI baru kemudian muncul sengketa. Dengan demikian
komisi banding dalam Undang- Undang Merek tidak dapat digunakan untuk solusi
ligitatif dalam kasus pemanfaatan merek dagang Buddha Bar.
D. Akhir
Dari Buddha Bar
Pada
awal Maret 2009 mereka mengajukan permohonan ke Ditjen HKI untuk menarik
kembali merek terdaftar yang menjadi nama bar tersebut. Dasar perdebatan mereka
adalah Konvensi Paris tentang Kekayaan Industrial yang menyatakan bahwa sebuah
merek tidak dapat menggunakan atribut keagamaan atau unsur-unsur lain yang
dapat mengganggu ketertiban umum.
Direktur
Merek Herdwiyatmi, SH segera memberikan pernyataan terkait isu kontroversial
tersebut segera setelah FABB mengeluarkan petisi. Dalam pernyataannya beliau
mengatakan, “Masalahnya kami kurang teliti pada Pasal 5. Pasal 5 melarang
penggunaan simbol-simbol atau nama-nama dari kepercayaan atau aliran agama
tertentu sebagai merek dan kami kurang teliti. Kami mengakui hal tersebut.”
Selain
mengeluarkan petisi, FABB juga melakukan usaha lain melalui aksi-aksi
demonstrasi, forum diskusi, melakukan kegiatan keagamaan di depan halaman bar
tersebut, hingga mengunjungi Dinas Pariwisata DKI Jakarta untuk mencabut ijin
operasional bar milik asing tersebut. Ketua FABB, Kevin Wu, mengatakan bahwa
mereka akan mengajukan protes ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai
keberadaan waralaba bar tersebut, yang banyak menggunakan nama-nama Buddha
lainnya, seperti Siddharta's Cafe di Praha, Little Buddha Cafe di Las Vegas dan
Buddha Bar Spa di Evian, Les-Bains.
Setelah
melewati perdebatan panjang dalam mediasi yang diadakan oleh Ditjen HKI antara
pemilik merek dengan FABB, dengan Andi N. Sommeng, Direktur Jendral, sebagai
mediator, pihak PT. Nireta Vista Creative, pemegang lisensi dari George V
Eatertainment sebagai pemilik merek, akhirnya mengajukan penghapusan merek
Buddha Bar ke Kantor Merek, yang kemudian segera dikabulkan melalui Surat No.
HKI.4.HI.06. 03-68 tertanggal 15 April 2009.
Belakangan
ini bar tersebut mengganti namanya menjadi “Bataviasche Kuntskring” dan masih
beroperasi setiap hari mulai pukul 20.00 hingga pukul 04.00 keesokan harinya.
Nama tersebut diambil dari sebutan asli gedung tua berumur 96 tahun itu yang
dibangun pada tahun 1913 oleh seorang arsitek Belanda bernama Pieter Andriaan
Jacobus Moojen. Gedung cagar budaya tersebut dibeli oleh pemerintah dari
pemiliknya dan mengalami pemugaran yang menghabiskan dana sekitar Rp 35 trilyun
yang berasal dari pungutan pajak masyarakat.
Sumber :
Sumber :