Dharma Nadi Candra. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KASUS BUDDHA BAR


A.  Kronologi Kasus Buddha Bar
Agustus 2008
Berita tentang Buddha Bar akan segera dibuka di Jakarta mulai merebak. Sejak saat itu sudah ada tindakan dari beberapa organisasi maupun pribadi dengan berbagai cara juga, mulai dari surat himbauan, ajakan untuk berdiskusi, undangan untuk bertemu dsb. yang dilayangkan kepada manajemen dan pemilik Buddha Bar, intinya untuk mencegah pemakaian nama Buddha Bar demi menghormati toleransi beragama di Indonesia. Namun semuanya tanpa hasil karena tidak adanya respon dari manajemen atau pemilik Buddha Bar.
Surat rekomendasi dari Gemabudhi tentang tidak keberatan dengan penggunaan kata “Buddha” pada Buddha Bar. Rekomendasi yang sama juga diperoleh dari Forum Komunikasi Umat Buddha DKI Jakarta dan DPD Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi) DKI Jakarta. Karena 3 buah surat rekomendasi ini, maka seakan-akan seluruh umat Buddha Indonesia tidak keberatan dengan merek “Buddha Bar”. Dan rekomendasi ini pula yang memuluskan jalan berdirinya Buddha Bar di Indonesia.
Belakangan baru diketahui bahwa ketiga surat rekomendasi tersebut ditandatangani oleh satu orang yang sama yakni Budiman Sudharma. Dan tiga organisasi yang memberikan rekomendasi tersebut seharusnya tidak bisa dijadikan sebagai acuan pendapat umat Buddha, karena bukan merupakan organisasi agama Buddha besar yang diakui di pemerintahan Indonesia, yang hingga saat ini hanya ada dua yakni KASI dan WALUBI.
Rekomendasi ini juga membingungkan dilihat dari kacamata umat Buddha sendiri, karena dalam ajaran guru Buddha, salah satu mata pencaharian tidak benar dan tidak disarankan untuk dilakukan oleh umat Buddha adalah menjual minuman yang memabukkan. Bagaimana mungkin seorang umat Buddha (atau yang mengaku umat Buddha?) dapat menulis rekomendasi memperbolehkan pemakaian nama Buddha untuk sebuah bar yang pasti akan menjual minuman memabukkan yang sebenarnya bagi umat Buddha merupakan mata pencaharian yang tidak benar?
Dikutip dari The Jakarta Post:
Raymond Visan, CEO of the George V group of records, spas, eateries and sleeperies, built a concept on the early 1990s Western fad for the East, when Asian food, objets and music were hot, and the Buddha himself was the king of cool, The Paris Buddha Bar. Described as being “for those who have outgrown clubbing”, the Buddha Bar was designed as a place people could soak up some ambiance, tunes and a few drinks.
“Jakarta is an exciting place to be right now,” says Renny Sutiyoso, one of the owners and the public face of the Jakarta Buddha Bar. “People in Jakarta spend a lot of money, and they like to eat nice things.” “You don’t have to go to Paris to go to the Buddha Bar,” says Renny. People are gossiping about what lies ahead, says Renny. She should know: the 28-year-old daughter of the former governor is one of Jakarta’s most active young women around town. People are lining up to be among the first to be seen at the Jakarta Buddha Bar. But if you want to share the experience, you have to dress for the occasion. The rules are simple – you’re not getting through that door if you’re not dressed to the nines. And tens and elevens. It appears the Buddha Bar clientele are as much a part of the décor as the Enlightened One himself.
24 Nopember 2008
Grand Opening Buddha Bar.
Pesta pembukaannya dihadiri oleh selibriti dan pejabat penting di Jakarta. Dalam website Buddha Bar sendiri (saat ini sudah tidak ada lagi), terpampang foto suasana pesta dengan latar rupang Buddha ukuran besar. Sungguh kontras pemandangan antara rupang Buddha yang agung dan tenang dengan suasana pesta yang hinggar binggar. Dari berbagai cerita orang-orang yang telah kesana, simbol agama Buddha benar-benar tidak dihargai sebagaimana mestinya dan dijadikan sebagai pajangan dan hiasan disana.
Karakter ‘Fo’ yang merupakan kata Buddha dalam aksara Mandarin tercetak dimana saja, mulai dari papan nama, buku menu, piring, asbak, hingga tissue toilet. Untuk umat bukan-Buddha yang membaca tulisan ini, bisa mencoba berempati dengan umat Buddha dengan mencoba membayangkan bila aksara yang melambangkan Buddha yang dituliskan di asbak atau tissue toilet tersebut diganti dengan (maaf) simbol Aum, simbol salib atau aksara Allah.
Dengan alasan ini, banyak umat Buddha menganggap bahwa Buddha Bar telah menyalahgunakan simbol agama Buddha dan secara sengaja (atau tidak sengaja) telah melakukan penodaan agama. Dan tindakan ini telah melanggar KUHP Pasal 156a butir a yang berbunyi : “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Ada beberapa argumen dari pendukung Buddha Bar yang menyatakan bahwa patung Buddha hanyalah patung, dan karena umat Buddha bukan penyembah patung maka tidak ada masalah sama sekali dengan penempatan patung Buddha di tempat hiburan malam seperti Buddha Bar. Dengan analogi sederhana kita bisa mengatakan bahwa bendera merah putih hanyalah kain, dan bangsa Indonesia bukan memberi hormat pada kain setiap upacara bendera, karena itu tidak masalah jika bendera merah putih dipakai sebagai apa saja.
16 Januari 2009
Merek Buddha Bar terdaftar di Direktorat Jenderal HAKI Dephukham RI. Sertifikatnya terdaftar dengan nomor IDM000189681 di klasifikasi 43 dengan layanan “jasa-jasa restoran (restaurant services), bar (bars services), kafe (cafes services), hotel (hotel services), akomodasi sementara (temporary accomodation)”. Tanda kutip menandakan kalimat merupakan kutipan apa yang tertulis di sertifikat Buddha Bar. Dengan demikian, maka selain usaha restoran seperti yang selalu dikatakan, maka Buddha Bar juga memiliki ijin untuk bar (dibaca: tempat menjual minuman beralkohol), dan memiliki ijin untuk menjadi tempat penginapan baik sementara ataupun tidak sementara (dibaca: menyewakan kamar yang memiliki tempat tidur).
Dan taukah anda bahwa musik yang mengalun di seluruh jaringan Buddha Bar di dunia, yang berada di bawah label George V Records salah satu jaringan George V Eatertainment, yang juga dijual bebas dengan label ‘Buddha Bar’, adalah salah satu dari beberapa jenis musik yang dipilih sebagai musik pembangkit gairah (maaf) seks ???
Sangat disayangkan bahwa para aparat pemerintah di Dirjen HAKI lupa membaca dasar hukum merek yakni UU No. 5 tahun 2001. Sehingga yang diperiksa hanya apakah nama Buddha Bar sudah ada di Indonesia atau belum. Namun mereka tidak sendirian dalam hal ini, karena ‘ketidaktahuan’ yang sama juga dialami oleh aparat pemerintah yang mengurus pendaftaran merek di negara Perancis, tempat asal franchise Buddha Bar. Jauh sebelum Buddha Bar Paris dibuka pada tahun 1996, pada tahun 1883 Perancis telah menjadi tuan rumah penyelenggara konvensi internasional untuk perlindungan kekayaan industri yang menghasilkan Paris Convension (Konvensi Paris). Dan Perancis merupakan satu dari sebelas negara awal yang menandatangani konvensi atau perjanjian internasional ini.
Dalam Paris Convension Article 6 tertulis:
The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permits, or at the request of an interested party, to refuse or to cancel the registration, and to prohibit the use, of a trademark which constitutes a reproduction, an imitation, or a translation, liable to create confusion, of a mark considered by the competent authority of the country of registration or use to be well known in that country as being already the mark of a person entitled to the benefits of this Convention and used for identical or similar goods. These provisions shall also apply when the essential part of the mark constitutes a reproduction of any such well-known mark or an imitation liable to create confusion therewith.
Jadi sebenarnya, George V Eatertainment (tidak ada kesalahan tulis disini) sendiri, sebagai pemegang lisensi Buddha Bar, juga bisa digugat. Namun, untuk menggugat gurita raksasa ini, diperlukan lebih dari sekedar komitmen (anda tahu apa yang saya maksudkan).
22 Januari 2009
Dikutip dari AntaraSumut.com :
Umat Buddha di Sumatera Utara mendesak pemerintah agar mencabut dan menghentikan operasional Buddha Bar Jakarta. Dalam penjelasannya, Sekretaris Umum Persamuan Boddhicitta Mandala Indonesia (PBMI), Brilian Muktar, mengatakan, keberadaan Buddha Bar yang beroperasi sejak dua bulan terakhir telah melecehkan umat Buddha di seluruh Indonesia, karena didalam Buddha Bar tersebut terdapat simbol-simbol agama Buddha. Ini merupakan pelecehan agama, boleh kita lihat dikertas ini, banyak gambar-gambar yang menunjukkan simbol agama Buddha di letakkan di tempat tersebut, katanya kepada sejumlah wartawan, di Jalan Multatuli Medan. Ia menambahkan, didalam Buddha Bar tersebut juga terdapat Bar, Diskotik yang dinilainya diluar dari ajaran Buddha. Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia asal Sumut, Parlindungan Purba yang juga hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan, pihaknya akan segera menindaklanjuti permasalahan terkait keberadaan Buddha Bar tersebut, kerena menurutnya ini merupakan persoalan yang menyangkut keagamaan. Kami akan tindak lanjuti masalah ini, kerena ini merupakan sesuatu yang bersifat pelecehan agama, bangsa ini tidak pernah mengajarkan hal semacam itu, katanya.
Dikutip dari Sinar Indonesia Baru:
Solidaritas Peduli Buddhis memprotes keberadaan Buddha Bar sebuah rumah minum di Menteng, Jakarta. Solidaritas Peduli Buddhis Sumut yang terdiri dari 16 elemen, di antaranya Majelis Buddhayana Indonesia, Majelis Pandita Buddha Mahayana Indonesia, Pelestari Buddha Dharma Indonesia, Parisada Buddha Dharma Nichiren Shosu Indonesia, dan Walubi Sumut menyatakan keberatan atas berdirinya sebuah bar yang mencantumkan nama Buddha untuk sebuah tempat hiburan. Hal tersebut diungkapkan ketua Solidaritas Peduli Buddhis Sumut Ir. Sutopo didampingi Sekretaris Ras Nananda, Solihin Chandra, Soni Firdaus Jhonson Min kepada wartawan, Sabtu (31/1). Penggunaan nama Buddha yang dipakai untuk sebuah bisnis bar telah melecehkan agama tersebut. Serta dinilai sangat tidak etis apabila simbol-simbol keagamaan dipakai untuk hal-hal yang tidak pada tempat/fungsi. Pihaknya juga sudah menyurati DPD-RI serta akan kembali menyurati Pemda DKI Jakarta dan pemilik bar tersebut.Serta akan menggalang kekuataan dengan masyarakat, organisasi keagamaan di Jakarta untuk bersama-sama akan gugat pemilik dan Pemda DKI Jakarta. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa umat Buddha Sumut mendesak pemerintah segera mencabut izin operasional tempat hiburan yang baru dioperasikan sekitar dua bulan lalu. Serta mengharapkan agar simbol-simbol dan nama Buddha tidak dipakai untuk sebuah bar.
Dikutip dari NusantaraNews:
Sangat disayangkan sekali bahwa pemilik franchise Buddha Bar bukanlah masyarakat biasa, tapi anak kesayangan dari “pemimpin” negeri ini, Puan Maharani, Renny Sutiyoso dan Dyan Farid (Caleg DPD 2009-2014 ). Puan Maharani merupakan putri mahkota dari mantan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum PDIP) dan Renny Sutiyoso adalah putri makhota mantan Gubernur DKI Jakarta Jend (Purn) Sutiyoso. Kedua-kedua orang tua mereka mencalonkan diri sebagai Presiden RI ke-7 pada pilpres 2009. Megawati membawa bendera PDIP, sedangkan Bang Yos membawa bendera Partai Indonesia Sejahtera. Sedangkan Puan Maharani menjadi caleg DPR RI dapil Jateng. Tidak bisa dipungkiri bahwa mereka merupakan publik figur di negeri ini. Sebagian besar rakyat Indonesia bahkan akan memilih Bu Mega dan Bang Yos serta partai pendukungnya. Sedangkan Dyan Farid adalah calon anggota DPD RI 2009-2014 yang saat ini didukung partai Agamais yakni PPP. Djan Faridz merupakan pengusaha kaya keturunan Betawi Pakistan, mantan Ketua Dewan Pembina DPD I Partai Golkar DKI Jakarta, Dirut PT. Priamanaya, pengembang Pasar Tanah Abang Blok A dan Pakubuwono Square, Bendahara Tim Sukses Fauzi Bowo, (baca berita lengkapnya di: Gubernur DKI utang BUDI dengan Haji Djan Farids ????) dan juga pemilik Gedung Mega Institute atau Mega Center di Jl. Proklamasi, Kantor Tim Sukses Megawati Soekarnoputri.
Dikutip dari DetikCom:
Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar akan meminta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo turun tangan. “Kita tunggu juga Pak Fauzi Bowo untuk mencabut izin itu. Lalu mendesak kepada Depkum HAM untuk tidak mengeluarkan hak paten brand tersebut.” Hal ini disampaikan setelah menerima perwakilan dari Forum Anti-Buddha Bar di Kantor DPP PKB, Jalan Sukabumi Nomor 23, Menteng, Jakarta Pusat. Muhaimin mengimbau pemilik Buddha Bar untuk mengganti nama yang lebih baik. “Indonesia tidak boleh dijajah oleh model-model franchise seperti itu,” cetus dia.
2 Maret 2009
Dikutip dari Kompas.com :
Sangha Mahayana Indonesia mendukung tuntutan pergantian nama Buddha Bar. Sangha Mahayana juga meminta kepada seluruh umat Buddha untuk mewaspadai pihak yang ingin memecah belah kesatuan umat Buddha. Hal itu dikatakan oleh Ketua Umum Sangha Mahayana Indonesia Bhiksu Gunabharda Mahasthavira di Jakarta, Senin (2/3), menanggapi kasus adanya oknum yang mengambinghitamkan Sangha Mahayana untuk mendukung berdirinya Buddha Bar. "Sangha Mayana Indonesia yang resmi dan telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri menolak dengan tegas penggunaan nama Buddha Bar," kata Bhiksu Gunabharda.
5 Maret 2009
Demo damai dari Aliansi Mahasiswa Buddhis (AMB). Tuntutannya sederhana, ganti nama, dan keluarkan semua simbol agama Buddha dari tempat tersebut karena tempat hiburan malam tersebut sama sekali tidak mencerminkan ajaran Buddha, bahkan bertentangan dengan ajaran Buddha. Sebagai generasi muda yang beragama Buddha, AMB hanya meminta sedikit dari hak nya sebagai warga negara Indonesia, yakni dihargai agamanya.
Dikutip dari Tempo Interaktif:
Ratusan umat Buddha akan melaksanakan prosesi "Paritta" atau kebaktian doa di depan Buddha Bar, Jalan Teuku Umar 1 Jakarta Pusat. Prosesi ini masuk dalam rangkaian protes mereka pada pengelola kafe waralaba Prancis itu, yang dianggap secara sembarangan memasang atribut keagamaan kaum Buddhis. Demikian disampaikan Ketua Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, Eko Nugroho, kepada Tempo, Kamis (05/03). Menurut dia, doa bersama ini digelar untuk menghormati Rupang Buddha atau patung representasi sang Buddha yang ada di dalam bangunan kafe. Kebaktian bersama, menurut Eko, digelar agar pemilik kafe sadar dan melepas atribut Buddha yang telah mereka pasang. Lebih jauh Eko berharap agar tempat hiburan itu mau mengganti nama. "Sangat tidak pantas, ketika simbol agama atau nama agama dipakai dalam tempat hiburan yang menjual minuman keras," kata dia. Selain unjuk rasa, umat Buddha yang tergabung dalam Forum Anti Buddha Bar (FABB) juga telah melayangkan somasi pada pemilik kafe tersebut. "Namun demikian hingga kini belum ada tanggapan," kata Eko.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta DKI Jakarta Arie Budiman menyatakan pihaknya masih menjadi fasilitator antara umat Buddha dengan pemilik Buddha Bar. Arie menegaskan bahwa permintaan umat Buddha untuk mengganti nama kafe itu ditanggapi oleh pemiliknya. "Umat Buddha kami minta agar bersabar, karena franchise internasional, penggantian nama itu butuh proses," kata Arie di Balaikota DKI kemarin. Arie menegaskan bahwa pemilik Buddha Bar mengantongi izin resmi pemerintah maupun organisasi agama Buddha. Namun demikian protes ini dinilai Arie sebagai sesuatu yang wajar, mengingat banyaknya faksi di antara organisasi beragama itu.
Dikutip dari berita di media:
(1) Kompas.Com : Ketua DPRD DKI Jakarta Ade Surapriyatna akan mendesak Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo segera menutup operasional tempat hiburan yang menggunakan simbol keagamaan itu. “Saya akan bicara secara lisan dulu dengan Gubernur agar operasional bar itu ditutup dulu karena ini menggunakan simbol keagamaan,” jelas Ade. Selain kepada Gubernur, Ade juga berencana membahas masalah kehadiran dan pengoperasionalan Buddha Bar ini dalam rapat pimpinan (Rapim) DPRD DKI Jakarta.

(2) Tempo Interaktif: Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Pemerintah DKI Jakarta menjelaskan status kepemilikan Gedung Batavia Kunstring yang sekarang menjadi Buddha Bar. Kepala Bidang Investigasi dan Informasi Publik ICW Agus Sunaryanto mengatakan ada kecurigaan bahwa gedung milik Pemda itu telah beralih menjadi milik swasta. "Status ini perlu dijelaskan oleh Pemda, apakah sudah dialihkan atau disewakan," ujarnya. Apalagi, katanya, bangunan cagar budaya itu dulunya dibeli dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut Agus, Pemda sudah menggeluarkan dana sebesar Rp 31 miliar untuk membeli dan merenovasi gedung tersebut. Oleh karena menggunakan uang rakyat, maka harus jelas pertanggungjawabannya. Meski pemerintah diperbolehkan menggandeng pihak swasta dalam mengelola BCB, tetapi menurut Agus, harus jelas skema kerja samanya. "Apakah menguntungkan pemerintah atau tidak," katanya. Dalam mengelola gedung eks imigrasi itu, Pemda menggandeng PT Niresta Vista Creative. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI mengeluarkan izin operasional usaha pada tanggal 12 November 2007. PT Niresta Vista Creative kemudian membeli franchise Buddha Bar. Agus mengkhawatirkan adanya konflik kepentingan karena salah satu pemilih Buddha Bar adalah Renny Sutioyoso. "Bagaimana pun juga ia adalah anak Gubernur Jakarta saat itu," ujarnya.
Dikutip dari berbagai berita di media:
(1) BeritaSore : Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam pertemuan dengan para tokoh agama di Jambi menegaskan sebaiknya bar tersebut ditutup karena telah melukai perasaan umat beragama. “Jika tidak ditutup, dikhawatirkan nanti ada Islam Bar, Kristen Bar dan bar-bar lainnya.”
(2) DetikCom : Forum AntiBuddha Bar (FABB) melaporkan PT Nireta Vista Creative, pengelola Buddha Bar, ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka melapor dengan tuduhan penistaan agama. Laporan ini diterima polisi dengan nomor laporan polisi Nopol/668/K/III/2009/SPK Unit III. "Kalau kata Buddha disandingkan dengan bar, konotasinya negatif. Dan bar itu usaha menjual minuman, masa disandingkan dengan Tuhan? Kalau franchise harus disesuaikan dengan budaya setempat. Dan Buddha Bar di Asia cuma di Indonesia, karena di Malaysia ditolak, di Thailand ditolak, dan di Singapura ditolak," urai Koordinator FABB Kevin Wu.
(3) Kompas.Com : Derasnya arus penolakan terhadap keberadaan restoran Buddha Bar di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, justru membuat beberapa umat Buddha di Indonesia mengaku sedih. Sebab, cara-cara yang dilakukan untuk menolak keberadaan restoran tersebut sangatlah tidak mencerminkan nilai-nilai Buddhisme, salah satunya dengan menggelar demo. Padahal, penyelesaian kasus ini bisa ditempuh melalui jalur hukum. Demikian kata Lieus Sungkharisma saat menghadiri acara dialog "Kontroversi Buddha Bar" di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat (11/3). Lieus menjelaskan, dengan semakin banyaknya tempat usaha yang menggunakan nama dan istilah agama Buddha, justru umat Buddha harus berbangga hati. Sebab, baik patung maupun sejumlah simbol keagamaan umat Buddha lainnya semakin memasyarakat, apalagi jika dirawat dengan baik, seperti patung Buddha di restoran Buddha Bar yang begitu diagungkan dan mendapat perawatan yang bagus. "Sebagai orang Buddha, saya malah bangga."
Berita (3) inilah yang menimbulkan persepsi bahwa seakan-akan hanya segelintir umat Buddha yang menolak keberadaan Buddha Bar. Padahal kenyataan yang ada adalah HANYA segelintir oknum mengaku beragama Buddha yang mendukung keberadaan Buddha Bar. Namun pernyataan oknum ini dirilis di media seolah-oleh mereka mewakili suara umat Buddha. Mungkinkah karena mereka yang menolak Buddha Bar menyuarakan penolakan dengan berpanas-panas melakukan aksi damai di jalan raya, sedangkan mereka yang mendukung Buddha Bar melakukan konferensi pers dalam suasana nyaman di ruang seminar Hotel Borobudur yang bertaraf internasional ???
Dikutip dari berita di media cetak:
(1) Suara Karya Online : Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo menyatakan, tidak akan ikut campur. Ia menyarankan agar pihak yang mempersoalkan keberadaan Budhha Bar menyelesaikannya lewat jalur hukum. “Saya kira kita serahkan pada wilayah hukum saja. Itu bukan bersengketa dengan kami. Dinas Pariwisata memberi ijin itu kepada badan hukum yang memegang HAKI,” katanya di Balai Kota Jakarta. Fauzi Bowo juga menolak untuk mengusulkan penutupan bar itu, ia mengatakan bahwa hal itu akan tergantung dari keputusan hukum yang berlaku. “Jadi kalau masalah hukum ya selesaikan saja melalui hukum. Kalau pengadilan mengatakan tutup ya tutup,” ujarnya. Gubernur menambahkan, tidak ada yang salah dalam pemanfaatan bangunan cagar alam itu dan kontroversi muncul karena penggunaan nama Buddha untuk bar tersebut. “Fungsi bangunannya nggak ada yang salah, namanya saja yang salah,” kata Fauzi Bowo.
 (2) VivaNews : Dinas Pariwisata DKI Jakarta menyatakan izin operasional Buddha Bar tak menyalahi aturan. Keberadaannya memenuhi unsur legal. Demikian disampaikan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Arie Budhiman. "Penggunaan gedung cagar budaya eks kantor Imigrasi tersebut juga tak menyalahi peruntukan karena difungsikan untuk restoran," kata dia. Meski menggunakan nama "Buddha Bar", bukan berarti sebagai tempat hiburan. Penggunaan kata 'Bar' diartikan sebagai tiang atau penyangga. "Buddha Bar itu restoran, bukan bar," ujarnya.
 (3) VivaNews : Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar Pemerintah Daerah DKI Jakarta menjelaskan kepada publik mengenai prosedur pengalihan cagar budaya gedung bekas kantor imigrasi menjadi Buddha Bar. "Pemda harus menjelaskan apa ada potensi konflik kepentingan dari pengalihan gedung ke swasta itu," kata Agus Sunaryanto, Kepala Divisi Investigasi dan Informasi Publik ICW. ICW juga meminta agar Pemerintah menjelaskan transparansi dana-dana Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) yang telah dikeluarkan untuk melindungi gedung yang bernama asli Bataviasche Kunstkring itu.
Agak heran juga ketika membaca pernyataan Gubernur DKI seperti tertulis pada berita (1), karena jelas-jelas dua tokoh nasional yakni Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua DPRD DKI Jakarta Ade Surapriyatna telah merujuk kepada Gubernur untuk membantu penyelesaian kasus Buddha Bar ini. Sikap Gubenur yang berkesan ‘cuci tangan’ ini membuat saya kembali berandai-andai, apakah Pak Gubernur juga akan mengatakan hal yang sama bila yang menjadi masalah adalah ‘Islam Bar’ atau ‘Jesus Bar’ ?
Dan kembali pernyataan Dinas Pariwisata DKI Jakarta di berita (2) juga menimbulkan tanda tanya besar. Mungkin benar pernyataan Arie Budhiman ini bahwa ijin operasional Buddha Bar legal, karena kalau tidak legal tentu saja tidak bisa beroperasi. Ini adalah kenyataan umum yang sudah diketahui orang Indonesia, terutama yang ingin membuka usaha. Yang menjadi tanda tanya adalah Pak Arie berusaha menutup-nutupi fungsi pemakaian bangunan yang sebenarnya merupakan cagar budaya klasifikasi A dengan menekankan bahwa usaha yang dilakukan Buddha Bar adalah usaha restoran, bukan bar, bahkan dengan naif-nya menyatakan bahwa arti kata ‘Bar’ dalam ‘Buddha Bar’ adalah tiang. Saya yakin bahwa pemilik franchise Buddha Bar sendiri si George Visan akan tidak sependapat dengan Arie Budhiman soal ini. Dan seluruh pemegang franchise Buddha Bar tahu dengan jelas arti kata ‘Bar’ itu.
Kita tidak akan tahu dasar Arie Budhiman membuat pernyataan tersebut. Tapi sebagai bagian dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Arie seharusnya tahu dengan jelas batasan-batasan penggunaan cagar budaya sekelas Bataviasche Kunstkring. Sebagai gedung pusat seni Batavia, di masa jayanya, gedung ini pernah menjadi saksi dari berbagai seni dunia, mulai dari pameran arsitektur Hindia (1925), pemeran kreasi seni dari perak (1935), pameran adi karya seniman dunia March Chagall, Van Gogh, Pablo Picasso (1936), pameran kristal Czechoslovakia (1936), dan menjadi tempat pameran buku dan lukisan era Batavia di masa tersebut. Dan Bataviasche Kunstkring juga bukan sembarang cagar budaya, tapi adalah cagar budaya klasifikasi A, yang sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta nomor D.IV-6098/d/33/1975 maka Bataviasche Kunstkring dilarang dibongkar atau diubah.
Lebih jauh lagi, pemakaian Bataviasche Kunstkring yang merupakan cagar budaya ini harus tunduk pada Undang-Undang RI No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Di Bab VI tentang Pemanfaatan tertulis:
Pasal 19
(1)  Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan dengan cara atau apabila :
a.    bertentangan dengan upaya perlindungan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);
b.    semata-mata untuk mencari keuntungan pribadi dan/atau golongan.
(3) Ketentuan tentang benda cagar budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan cara pemanfaatannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya apabila pelaksanaannya ternyata berlangsung dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Buddha Bar yang menggunakan gedung cagar budaya ini jelas-jelas telah melanggar ketentuan pasal 19 ayat 2 butir b. Dan sesuai dengan pasal 20, sebenarnya pemerintah Indonesia dapat menghentikan pemanfaatan Bataviasche Kunstkring untuk keuntungan pribadi ini.
Walau ICW telah meminta dari sejak Maret 2009, sudah satu tahun berlalu, dan Pemda DKI Jakarta masih belum menjelaskan secara transparan proses pengalihan fungsi gedung dari gedung imigrasi menjadi Buddha Bar, serta bagaimana alur dana yang telah dialokasikan pemerintah dari APBD Jakarta untuk membeli kembali gedung ini dari PT. Mandala Griya Cipta di tahun 2002 dan kemudian memugarnya. Tersiar kabar bahwa pembelian kembali dan pemugaran gedung ini menghabiskan lebih dari Rp. 30 Milyar dana APBD. Dan kemudian gedung ini disewakan kepada PT. Nireta Vista Creative, pengelola Buddha Bar, hanya dengan harga Rp 800 juta per tahun.
Penyewaan Bataviasche Kunstkring kepada swasta yang kemudian dijadikan tempat hiburan malam Buddha Bar, sungguh jauh dari komitmen awal pemerintah Jakarta saat membeli kembali cagar budaya ini yakni sebagai ruang publik. Bahkan sebuah sayembara pernah diselenggarakan untuk menjaring ide kreatif pemanfaatan gedung tersebut, dan keluar sebagai pemenang Dastin Hillery, Suci Mayang Sari, dan Agus Surja Sadana. Konsep ketiganya bila disatukan adalah menjadikan gedung bersejarah ini sebagai gedung perikatan seni, komunitas seni arsitektur Indonesia, dan restoran bernuansa tempo dulu. Benar-benar menjadi ruang publik yang bisa diakses oleh publik secara bebas kapan saja. Manakah dari konsep ruang publik ini yang kemudian di(salah)terjemahkan menjadi Buddha Bar?
14 Maret 2009
Demo damai dari Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi). Sekitar 200 umat Magabudhi termasuk 4 orang bhikkhu, meminta bar tersebut ditutup atau diganti namanya. Demo damai dengan membawa lilin, bunga, manyalakan dupa, dan membaca paritta.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meminta agar izin pendirian tempat hiburan Buddha Bar di Jakarta belum lama ini ditinjau kembali sebagai bentuk perlindungan terhadap umat beragama di Indonesia khususnya umat Buddha. “Jika memang Buddha Bar telah benar-benar melecehkan umat Buddha maka harus dipertimbangkan untuk dicabut izin operasinya,” kata Ketua Umum DPP PPP, Suryadharma Ali, di Jakarta, Sabtu. Ia mengatakan, Buddha merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia sehingga harus mendapat perlindungan dan penghormatan. “Prinsipnya adalah menghormati dan melindungi agama. Di dalamnya juga termasuk menghormati apa yang dihormati oleh agama itu sendiri,” katanya.
16 Maret 2009
Demo dari Kesatuan Umat Buddha Anti Buddha Bar. Aksi demo dilakukan di depan Istana Negara dan gedung DPRD DKI Jakarta. Para pendemo sempat bertemu dengan Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Vike Verry Ponto.
Dikutip dari Detik Com:
100 Orang dari Forum Umat Buddha Anti Buddha Bar akhirnya bertemu Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Vike Verry Ponto. Kepada Vike, perwakilan umat Buddha ini meminta agar DPRD DKI Jakarta segera menutup Buddha Bar karena dianggap melecehkan agama Buddha. “Di Buddha Bar ada patung Buddha di mana juga ada ornamen simbol keagamaan kami. Tetapi di depannya ada sepasang muda-mudi ciuman jilat-jilatan. Itu sangat melecehkan agama kami. Makanya kami menginginkan ditutup saja Buddha Bar,” ujar salah seorang perwakilan umat Buddha di kantor DPRD DKI Jakarta, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Senin (16/3/2009). Menanggapi permintaan para pendemo, Vike mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo untuk segera menyelesaikan permasalahan ini secepatnya. Surat itu sudah dikirim pada 10 Maret 2009. “Karena Buddha Bar memang melanggar aturan hukum yaitu pelecehan dan penodaan agama,” tegasnya. Saat ditanyakan pengalihan gedung Buddha Bar yang diketahui milik kantor Imigrasi, Vike menjawab,”Itu yang tahu Komisi B.”
17 Maret 2009
Dikutip dari berita di media:
(1) Sriwijaya Post : Komisi B DPRD DKI Jakarta yang membidangi perekonomian akan memanggil empat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait dengan beroperasinya Budha Bar di kawasan permukiman penduduk dan cagar budaya tersebut, yaitu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan terkait pemberian izin operasional tempat hiburan, Dinas Tata Kota (DTK) menyangkut peruntukan kawasan Menteng, Dinas Pengawasan dan Penataan Bangunan (P2B) untuk peralihan izin penggunaan bangunan (IPB), serta Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) menyangkut penggunaan aset daerah. “SKPD ini harus menjelaskan kronogis keberadaan Buddha Bar hingga bisa menjadi bar atau restoran. Bangunan itu seharusnya untuk museum kok ujung-ujungnya bisa menjadi tempat usaha komersial?,” kata Nurmansyah. Nurmansyah juga mempertanyakan biaya renovasi menggunakan APBD sekitar Rp 5 miliar yang belum lama ini dilakukan namun sekarang malah dihuni swasta untuk usaha komersial.
(2) Harian Analisa : PDI Perjuangan secara tegas mendukung penutupan Buddha Bar. Dukungan disampaikan Ketua DPP PDI Perjuangan yang juga ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara Panda Nababan ketika menjadi pembicara dalam seminar Politik vs Ekonomi di Exchange Club, Selasa (17/3) malam. “PDI-Perjuangan secara tegas mendukung penutupan Buddha Bar, meski ada isu adanya keterlibatan putri Ketua umum kami”, tegas Panda Nababan. Lebih lanjut Panda Nababan mengatakan, keyakinan tidak terlibatnya Puan Maharani dalam usaha tersebut ia peroleh sejak tiga bulan lalu dari Taufik Kiemas, ayah Puan Maharani yang juga ketua dewan pertimbangan Pemilu DPP PDI-Perjuangan. Panda Nababan yang berbicara didampingi bendahara DPD PDI Perjuangan Sofyan Tan mengatakan, penggunaan empat agama yakni Islam, Kristen, Buddha dan Hindu dalam setiap acara menunjukkan kalau PDI Perjuangan mencintai keberagaman.
Dikutip dari berita di media:
(1) BeritaJakarta.com : Setelah melalui perundingan yang alot, Direktorat Jenderal Bimas Buddha Departemen Agama memastikan restoran Buddha Bar tetap diperbolehkan beroperasi tanpa ada penyegelan. "Saya mengimbau pemilik restoran Buddha Bar untuk merekomendasikan pergantian nama ke Perancis. Dan restoran Buddha Bar tetap diperbolehkan beroperasi," ujar Budi Setiawan, di gedung Ditjen Bimas Buddha Depag, Jakarta, Rabu (18/3). Pihaknya, kata Budi, juga telah memohon kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meninjau ulang izin tetap usaha dagang Buddha Bar melalui surat pada 15 Januari 2009. “Dan itu telah dilakukan oleh Pemprov DKI,” terang Budi. Pemprov DKI menyatakan tidak ada kesalahan dalam proses izin tetap usaha dagang Buddha Bar karena telah terdaftar di Ditjen HaKI Departemen Hukum dan HAM. Lagian, nama restoran itu merupakan franchise dari perusahaan induk di Perancis yang juga sah ketetapan hukumnya.
(2) DetikCom : “Bapak JS sanggup untuk menginformasikan keadaan ini kepada pihak pemilik franchise Buddha Bar di Paris serta Bapak JS juga telah merencanakan nama lain sebagai pengganti Buddha Bar,” ujar Dirjen Bimas Buddha Depag Budi Setiawan. Hal itu disampaikan Budi dalam jumpa pers di kantor Depag, Jl Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/3/2009). Budi berharap agar pergantian nama Buddha Bar dilakukan secepat mungkin. Budi juga menyatakan pihaknya telah meminta bantuan kepada Dubes RI di Paris untuk mengeluarkan surat yang menginformasikan bahwa PT NVC akan mengganti nama Buddha Bar.
(3) BeritaJakarta.com : Ketua Dewan Pembina Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gemabudhi), Lieus Sungkharisma, menilai bahwa penolakan umat Buddha beraliran Theravada yang keberatan atas keberadaan patung Buddha di restoran Buddha Bar sangat tidak beralasan. Sebab, patung Buddha yang dipajang di restoran itu merupakan patung Buddha yang diagungkan umat Buddha beraliran Mahayana. “Jadi sangat tidak berdasar jika umat Buddha beraliran Theravada memprotes keberadaan patung-patung Buddha di restoran Buddha Bar itu,” tegasnya.
Pernyataan dari orang yang paling sering membela Buddha Bar pada berita (3) ini secara gamblang menunjukkan betapa sempitnya pemikiran orang yang diangkat sebagai Ketua Dewan Pembina Gemabudhi ini. Dan betapa sedikitnya pemahamannya tentang agama Buddha. Buddha tidak pernah menciptakan aliran. Aliran yang ada saat ini terbentuk hanya karena adanya asimilasi (peleburan) dari budaya dan tradisi dari masing-masing daerah di belahan dunia ini dengan ajaran Buddha. Namun inti ajaran Buddha hanya satu, di aliran apapun itu.
Dikutip dari Inilah.com :
Gus Dur dalam acara ‘Kongkow bareng Gus Dur’ di Kedai Tempo, Utan Kayu, Jakarta menyatakan, “Kita semua menjadi korban arogansi Polri. Karena Polri belum sedikit pun menggerakkan jarinya menyikapi Buddha Bar.” Ditegaskan, seharusnya bila sudah benar terbukti ada upaya menggunakan lambang agama, maka keberadaan Buddha Bar tidak boleh diteruskan. Bila ada sesuatu tindakan meng-agama-kan hal-hal yang bukan agama, seharusnya dilarang.
22 Maret 2009
Dikutip dari VivaNews :
Ratusan umat Buddha yang tergabung dalam Solidaritas Umat Buddha Makassar, Sulawesi Selatan berunjukrasa mengecam dan mendesak ditutupnya Buddha Bar di Jakarta. Selain berorasi di Monumen Perjuangan Mandala, Makassar, Sulawesi Selatan, pengunjukrasa juga membaca puisi dan mengumpulkan tanda tangan dengan target sejuta orang. Pengumpulan tandatangan juga dilakukan sejumlah organisasi dari umat agama lain, seperti Islam, Kristen dan Katolik yang juga ikut hadir dalam aksi itu.
Dikutip dari VivaNews :
Sepuluh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta mendatangi restoran Buddha Bar. Dari sisi penggunaan bangunan bersejarah, pengelola Buddha Bar tidak menyalahi aturan. Sekretaris Komisi B DPRD DKI, Nurmansyah Lubis menyatakan, “Kabarnya, pengelola Buddha Bar sudah menghabiskan dana Rp 100 miliar untuk merenovasi bangunan.” “Buddha Bar ini sudah ada persetujuannya dari Gubernur. Pengelola diberikan kepada pihak ketiga karena bangunan ini mempunyai nilai dan biaya yang tinggi. Jadi bukan hal yang aneh bila suatu bangunan bersejarah dikelola swasta.” “Kunjungan ini juga untuk menelusuri seberapa jauh pengelola Buddha Bar telah merenovasi dan menggunakan bangunan ini,” ujar dia. Kedatangan para wakil rakyat Jakarta ini untuk menindaklanjuti rapat kerja dewan tiga instansi. Rapat kerja bersama itu dihadiri Dewan Legislatif, Dinas Pariwisata, dan pengelola Buddha Bar. Jadi menurut Nurmansyah, penggunaan gedung sudah dengan ketentuan.
30 Maret 2009
Dikutip dari berbagai media :
(1) Detik.com : FABB (Forum Anti Buddha BAR) mengadakan aksi unjuk rasa dengan jumlah massa sekitar 2.000 orang ke : Kedubes Perancis, DPRD DKI Jakarta, Dinas Pariwisata Jakarta, dan tempat hiburan malam Buddha Bar. Perwakilan Dubes Perancis menyatakan akan memperingatkan pengusaha Night Club Buddha Bar yg berada di Perancis. Selain massa dari unsur agama Buddha seperti Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmah Budhi), unjuk rasa juga diikuti oleh massa dari agama lain di antaranya Gerakan Pemuda Anshor, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia. Saat demo ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta, Pihak Dinas Pariwisata mengaku tidak punya wewenang soal penggantian nama Buddha Bar. Penentang Buddha Bar diminta untuk mengadukannya ke Ditjen HAKI. “Nama Buddha Bar telah disahkan oleh Ditjen HAKI. Kami berada di posisi hilir. Persyaratan hukum telah disetujui,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Jakarta Selatan, Ari Budiman di kantornya, Jl Mampang Prapatan, Jakarta, Senin (30/3/2009).
(1) Website DPRD Propinsi DKI Jakarta : Masyarakat yang menolak kehadiran Buddha Bar di Menteng, Jakarta Pusat kembali mendatangi DPRD DKI Jakarta dan minta diterima Komisi E karena menyangkut penistaan agama. Namun mereka hanya bertemu dengan Ernawati Sugondo, anggota Komisi B DPRD DKI yang juga menentang keberadaan Buddha Bar. “Komisi B sudah mendapat masukan keliru soal Buddha Bar dari mantan ketua Generasi Muda Budhis Indonesia. Harusnya Komisi B juga dapat masukan dari umat yang anti Buddha Bar,” ucap Ernawati, Senin (30/3). Persoalan Buddha Bar, sudah menyangkut agama dan tidak ada alternatif lain kecuali harus ganti nama. “Ini Indonesia ada Pancasila yang umatnya punya toleransi tinggi memelihara kerukunan antarumat beragama, Indonesia bukan Perancis,” tandasnya.
Sementara surat edaran yang ditandatangani Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha Departemen Agama (Depag), Budi Setiawan No. DJ.VI/2/BA.00/202/2009 menyebutkan bahwa perintah lisan Menteri Agama kepada Dirjen Bimas Buddha untuk menyelesaikan kasus Buddha Bar secara persuasif. Karena itu, pimpinan PT Nireta Vista Creative sebagai pengelola Buddha Bar yelah menyanggupi mengganti nama lain dengan tidak menggunakan kata Buddha. Dirjen Bimas Buddha juga telah mengeluarkan surat edaran tentang larangan penggunaan nama Buddha untuk merek dagang usaha tetap hiburan di antaranya tidak memberikan rekomendasi terhadap usaha dagang hiburan yang akan menggunakan nama Buddha seperti Buddha Bar, Buddha Spa, Buddha Disco, Buddha Cafe dan lainnya. Selain itu, Dirjen pun sudah mengirim surat kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meninjau ulang ijin tetap usaha pariwisata Buddha Bar di Menteng yang telah dikeluarkan.
2 April 2009
Dikutip dari Tempo Interaktif:
Sekitar 750 org massa dari FABB (Forum Anti Buddha Bar) berunjuk rasa ke Ditjen. HaKI (Hak dan Kekayaan Intelektual). Ditjen Haki mengaku TELAH LALAI memberikan ijin merek kepada night club Buddha Bar karena mereka sendiri dari awalnya telah melanggar Undang-Undang nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. “Apa pun (ijin merek) bisa dicabut,” kata Andi N. Someng, Direktur jendral HAKI usai menemui perwakilan FABB di kantornya. Andi mengatakan pihaknya akan memanggil pihak terkait termasuk Pemda DKI pemberi ijin usaha dan pengusahanya. “Kami akan bekerja dalam 14 hari sesuai hasil kesepakatan dalam pertemuan, mudah-mudahan ini cepat teratasi,” kata Andi.
Sementara itu, kuasa hukum umat Budha Sunarjo Sumargono mengatakan dalam pertemuan tersebut Ditjen HAKI juga mengakui adanya kelalaian menyangkut pemberian ijin merek dagang. Apalagi jelas-jelas dalam Konvensi Paris 1883 tentang hak kekayaan industrial terkandung muatan tidak boleh ada merek yang mengandung unsur agama atu meresahkan kehidupan sosial masyarakat. "Indonesia adalah salah satu anggota WTO yang notabene harus tunduk kepada konvensi itu," kata Sunarjo.
6 April 2009
Dikutip dari Republika:
Pemilik Hiburan Malam Buddha Bar HAJI Djan Faridz dalam pernyataannya kepada media massa berjanji bahwa Hiburan Malam Buddha Bar akan menurunkan Papan Mereknya dan selanjutnya tidak akan mempergunakan lagi nama Buddha di dalam usaha Hiburan Malam tersebut. Hal ini ditegaskannya ketika berkunjung ke kantor Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni yang juga dihadiri oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha Budi Setiawan.
15 April 2009
Ditjen.HaKI (Direktorat Jenderal Hak dan Kekayaan Intelektual) Depkumham RI melalui Surat Direktur Merek Bernomor: HKI.4.HI.06. 03-68 tanggal 15 April 2009 tentang Penarikan Merek Buddha-Bar. Maka dengan demikian segala sesuatu penggunaan Merek dan Atribut Buddha Bar serta segala sesuatu kegiatan yang berkaitan dengan merek Buddha Bar yang berpusat di Perancis ini adalah tidak sah di Indonesia. Dengan adanya Pembatalan atas merek Hiburan Malam Buddha Bar ini, maka dengan sendirinya Surat Izin Usaha yang diterbitkan oleh Dinparbud DKI Jakarta ini TELAH MEMILIKI CACAT HUKUM, karena PT. Nireta Vista Creative sudah tidak berhak menjadi Pemegang Franchise ataupun Pemegang Lisensi Buddha Bar di Indonesia lagi, dan Merek Buddha Bar sudah tidak berhak dipergunakan lagi di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba, dimana pada Bab II pasal 3 tertulis :
Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a.    memiliki ciri khas usaha ;
b.    terbukti sudah memberikan keuntungan ;
c.    memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis ;
d.    mudah diajarkan dan diaplikasikan ;
e.    adanya dukungan yang berkesinambungan ; dan
f.    Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.
21 April 2009
Dikutip dari TvOne :
Buddha Bar berganti nama. Tempat hiburan di pangkal Jalan Teuku Umar Menteng ini kini bernama 'Bataviasche Kunstkring'. Manager Operasional Buddha Bar, Hendri Marheroso, Selasa 21 April 2009, mengatakan, nama itu dipilih untuk mengabadikan nama asli gedung sejarah yang ditempati Buddha Bar. Penggantian nama diresmikan dengan penurunan papan nama Buddha Bar yang melekat di gedung tersebut. "Ini bentuk penghormatan managemen terhadap menteri agama," ujarnya. "Tidak ada niat sedikit pun untuk melukai umat Buddha di Indonesia." Meski telah berganti nama menjadi Bataviasche Kunstkring, Buddha Bar tetap membiarkan ruangannya dipenuhi ornamen Buddha. Manager Operasional Buddha Bar, Henry Marheroso, beranggapan ornamen tersebut bagian dari keindahan ruang usahanya. "Kami belum ada rencana mengubah ornamen yang sudah terpasang di sini," ujarnya, Selasa 21 April 2009. Lagipula, kata Henry, untuk melepas patung-patung Buddha dan ornamen yang telah terpasang membutuhkan izin dari pemegang lisensi Buddha Bar di Prancis. "Kami masih menunggu keputusan dari mereka (pemegang lisensi)," ujarnya.
23 April 2009
Dinas Pariwisata & Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta mengeluarkan surat Kepada Pemilik untuk memperbaiki merek dan semua ornamen (Buddha) nya jika ingin memperpanjang usahanya. batas waktu yg diberikan adalah 30 hari sejak surat dikeluarkan hingga 23 Mei 2009.

Mei 2009
PT. Nireta Vista Creative mem-PTUN-kan Kepala Dinas Pariwisata & Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta untuk kasus Perijinan dengan nomor perkara 73/G/2009/PTUN-JKT.
Juni 2009
George V Eatertainment selaku pemegang lisensi franchise Buddha Bar, mengugat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI untuk kasus Merek dan tercatat dengan nomor perkara 97/G/2009/PTUN-JKT.
13 Juni 2009
Liputan6.com :
Keberadaan Buddha Bar di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, masih mendapat penolakan keras khususnya dari umat Buddha. Forum Masyarakat Lintas Agama, Sabtu (13/6) malam, kembali menyuarakan penolakan penggunaan atribut agama pada Buddha Bar. Namun aksi damai melalui renungan suci ini urung diadakan. Massa yang berjumlah sekitar 200 orang tidak diperkenankan mendekati pertigaan Jalan Teuku Umar, di depan Buddha Bar. Menurut perwakilan masyarakat lintas agama, Kevin Wu, pihaknya telah mengajukan pemberitahuan kepada polisi. Lebih lanjut Kevin menegaskan pemilik dan pengelola Buddha Bar telah membohongi publik. Sebab hingga kini penggunaan atribut agama masih berlanjut. Ia mengimbau calon-calon pemimpin negara memberi perhatian pada persoalan ini. Sejumlah perwakilan masyarakat lintas agama, sempat menyatakan sikap dan melakukan doa bersama di bawah pengawasan aparat sebelum membubarkan diri.
DetikCom :
Banyak hal dikeluhkan komunitas etnis Tionghoa kepada cawapres Prabowo Subianto, termasuk salah satunya soal keberadaan Buddha Bar di kawasan Menteng, Jakpus. Prabowo pun berang dengan diubahnya kembali nama bar itu dengan nama yang berpotensi melecehkan agama tertentu. “Kalau diubah lagi, dablek (keras kepala) namanya,” kata Prabowo di hadapan Forum Demokrasi Kebangsaan Masyarakat Tionghoa di Restoran Nelayan, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (13/6/2009). Acara juga dihadiri beberapa bhiksu. Seperti diberitakan, Buddha Bar yang merupakan usaha waralaba asal Prancis itu sempat mengurungkan niat penggunaan nama ‘Buddha’ setelah diprotes oleh sejumlah aktivis lintas agama. Namun hal itu batal dilakukan, bahkan publikasi tempat hiburan berkelas itu terus gencar dilakukan dengan nama yang sama. “Tidak tepat membuat restoran atau tempat hiburan memakai nama agama tertentu,” saran pendamping Mega ini. Prabowo menjelaskan, semua hal yang berhubungan dengan SARA di Indonesia sangatlah berpotensi menimbulkan kerawanan. Bahkan untuk hal-hal yang tidak disadari sekalipun. “Apalagi ini yang jelas ada perencanaannya,” pungkas Prabowo seraya mengatakan Indonesia jauh berbeda dengan Prancis yang sekuler.
14 Juni 2009
MediaIndonesia.com :
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta Arie Budiman meminta berbagai pihak menahan diri dalam kasus pro dan kontra tentang Buddha Bar. Ia juga meminta semua pihak menghormati upaya hukum yang sedang berlangsung di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pro dan kontra keberadaan restoran Buddha Bar kembali mencuat setelah PT Nireta Vista Creative (NVC) menggugat Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu diajukan terkait surat yang dilayangkan Kepala Disparbud DKI kepada PT NVC. “Dalam kasus ini kan banyak yang berkepentingan. Jadi biarkan saja mereka (FABB) bermain sesuai kepentingan masing-masing,” kata Arie Budiman di Jakarta, Minggu (14/6). Sebagai warga yang patuh terhadap hukum, tambahnya, dirinya tetap akan mengikuti proses hukum yang sedang berlangsung. Kalaupun ada isu-isu negatif yang menimpa dirinya biarkan saja itu terjadi. “Yang penting jangan sampai ada politisasi dalam persoalan ini,” tegas Arie Budiman.
Ia menambahkan sambil menunggu proses hukum yang sedang berjalan pihaknya tidak akan menindaklanjuti “Surat Pemberitahuan” yang sebelumnya dikirimkan ke PT Nireta Vista Creative (NVC) sebagai pemilik Budha Bar. Sesuai prosedur, sambungnya, Disparbud akan memberikan kuasa kepada Biro Hukum DKI untuk mewakili. “Hingga saat ini belum ada penjelasan hukum lebih lanjut dari Kepala Biro Hukum mengenai surat peringatan yang disampaikan kepada pihak majemen Buddha Bar. Kita tunggu saja apa hasil keputusan dari PTUN. Tapi jika wacana yang muncul berbeda, dan kita bisa tetap proses lebih jauh surat tersebut maka hal itu akan kita lakukan,” jelasnya.
Kasus Kepala Disparbud Jakarta ini hampir mirip dengan kasus Prita yang membuat surat komplain dan harus berhadapan dengan pengadilan. Bedanya Disparbud adalah institusi resmi pemerintah, dan surat yang dipermasalahkan bukan surat komplain atau perintah penutupan, tapi surat pemberitahuan saja. Namun hanya dengan surat pemberitahuan inipun sang buaya berang dan sang cicak terdiam tak berani bersuara lagi. Dan mungkin dengan arogansi inilah pihak Buddha Bar entah sejak kapan kemudian memasang kembali papan namanya. Seolah-olah menjilat kembali ludah mereka sendiri, tempat hiburan malam di kawasan Menteng ini membuang nama ‘Bataviasche Kunstkring’ dan dengan bangga kembali memasang papan nama ‘Buddha Bar’. Bedanya bila saat menurunkan papan nama dilakukan secara besar-besaran dengan diekspos oleh puluhan media massa, pada saat dinaikkan kembali diam-diam supaya tidak ketahuan masyarakat.
18 Juni 2009
DetikNews.com:
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assidiqie mengatakan pemerintah harus ikut campur mengatasi konflik Buddha Bar. Jika negara harus ikut campur menyelesaikan konflik itu, semua umat akan memberikan dukungan. “Dalam persoalan Buddha Bar ini terkait negara, masyarakat dan bisnis. Persoalan ini persoalan serius, negara harus bergerak tidak boleh dibiarkan,” kata Jimly. Jimly mengatakan itu dalam diskusi bertajuk “Kepentingan Komersil Vs Kesucian Agama dalam Konteks Buddha Bar” di Gedung WTC Sudirman, Jl Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (18/6/2009). Jimly menegaskan, bila umat Buddha masih tidak puas dengan pergantian nama bar itu bisa ditempuh dengan jalur hukum, baik lewat perdata maupun pidana. “Karena pengadilan dibentuk memang untuk mengatasi persoalan seperti ini,” terangnya. Jimly mengatakan, semua hakim akan melihat persoalan bar yang merupakan franchise dari Perancis ini dengan serius. Hakim akan memutuskan dengan perasaan keadilan dalam memberikan putusan. “Negara itu dirigen. Dalam hal seperti ini jadi perlu ikut campur,” imbuh alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini.
19 Juni 2009
RRI News :
Keberadaan Buddha Bar di jalan Teuku Umar Menteng, Jakarta Pusat dinilai Pengurus Pusat Majelis Buddhayana Indonesia (PP MBI) sah sepanjang tidak menggunakan ornamen dan simbol-simbol agama. “Kami tidak melarang sebuah perusahaan restoran bar itu beropera si asalkan simbol-simbol agama Buddha itu telah diturunkan,” kata Ketua Umum PP MBI, Sudhamek AWS, di Jakarta, Jumat (19/6). Pernyataan Sudhamek tersebut diungkapkan saat pertemuan antara tokoh agama, para intelektual yang digagas oleh Forum Anti Buddha Bar (FABB) yang dihadiri sejumlah tokoh agama di ibukota. Hadir pada pertemuan tersebut diantaranya tokoh NU Said Agil, Jimly Asshiddiqie (pakar hukum tata negara ), J. Kristiadi (pengamat politik), Masdar Mas`ud (tokoh lintas agama), Yudi Latif (pengamat politik muda dari Universitas Paramadina) dan beberapa tokoh agama dan aliran kepercayaan.
Menurut Sudhamek seperti dilansir Antara, permasalahan yang dihadapi umat Buddha terkait adanya bangunan antik di ibukota menggunakan simbol Buddha Bar itu, merupakan bentuk pelecehan bagi ajaran Buddha. “Sebenarnya permasalahan ini sudah kami sampaikan ke pihak Pemerintah Provinsi DKI dalam hal ini gubernur serta pihak kepolisian namun hingga saat ini belum ada tanggapan yang serius terhadap penggunaaan simbol Buddha Bar oleh perusahaan tersebut. Bagi umat Buddha, kasus Buddha Bar merupakan suatu tindakan pidana yaitu sebagaimana yang diancam oleh delik penodaan dan penistaan agama, dalam hal ini agama Buddha telah dinodai ole h PT Nireta Vista Creative (perusahan pemegang lisensi/pemilik Buddha Bar di Indonesia).” Ia mengatakan, pihaknya masih memberi toleransi kepada pihak perusahaan agar tidak lagi menggunakan simbol-simbol Buddha Bar dalam perusahaan itu. Apalagi, perusahaan Buddha Bar merupakan suatu tempat usaha yang menjual minuman keras beralkohol tinggi, yang dapat menurunkan kesadaran seseorang atau dengan kata lain bar menjual minuman, sangat bertentangan dengan ajaran agama.
Tokoh NU Said Agil mengatakan, langkah yang diambil umat Buddha mempertemukan sejumlah tokoh agama dan intelektual terkait memprotes sebuah perusahaan di tanah air yang memakai simbol agama adalah patut dihargai karena itu sudah merupakan pelanggaran pidana. “Agama apapun, di tanah air ini bila simbol-simbol kepercayaan itu digunakan bukan pada tempatnya maka umatnya pasti akan sakit hati dan tentu akan melawan,” katanya. Oleh karena itu, ia juga minta kepada perusahaan yang telah menggunakan simbol Buddha agar meminta maaf kepada pemeluk agama Buddha.
Kompas.com :
Nama, simbol, atau ornamen apa pun yang berhubungan dengan agama tertentu dilarang digunakan untuk segala kegiatan komersil apalagi untuk usaha tempat hiburan. “Kok tidak punya perasaan menggunakan nama Buddha untuk bar yang menjadi tempat hiburan, minum bir, dan anggur,” ungkap tokoh agama Frans Magnis Suseno saat jumpa pers mengecam dibukanya Buddha Bar di Jakarta, Jumat (19/6). Ikut hadir dalam jumpa pers tersebut para tokoh lintas agama, pakar hukum, hingga politikus. Frans Magnis mengatakan, penggunaan simbol agama dalam kegiatan komersial sangat bertentangan dengan ajaran agama yang ingin membebaskan manusia dari kepentingan komersial. “Agama membuka wawasan bahwa komersial hanya sepotong kecil dari kehidupan,” ucapnya.
Sedangkan menurut Musda Mulia dari Indonesian Conference of Religion in Peace, kasus Buddha Bar menunjukkan bahwa di Indonesia telah memasuki defisit demokrasi yang menganggap bebas melakukan apa saja. “Contohnya menggunakan apa saja untuk kepentingan pasar,” ucapnya. Selain itu, katanya, adanya salah persepsi dalam masyarakat tentang kebebasan beragama yang diartikan juga bebas berbuat apa saja. “Itu salah. Di negeri ini agama digunakan untuk kedamaian bukan kebencian,” tegasnya.
Pendapat senada juga dikatakan pakar hukum Jimly Ashidiqqie, bahwa masalah Buddha Bar adalah masalah serius yang harus diselesaikan melalui proses hukum. “Tugas pengadilan untuk mengatasi masalah tersebut. Pidanakan orangnya, gugat perdata,” lontarnya. Ia juga menilai, sudah seharusnya pemerintah ikut campur dalam menyelesaikan konflik antara masyarakat, negara, serta bisnis tersebut. “Negara tidak boleh membiarkan itu terjadi,” tegasnya. Lain lagi dikatakan pengamat politik Yudi Latif, bahwa pengelola Buddha Bar telah melanggar hak asasi manusia. “Negara harus mencegah segala pelecehan dan harus melindungi seluruh agama,” tegasnya.
Kompas.com :
Terus berjalannya usaha Buddha Bar mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Sebanyak 19 tokoh dari lintas agama, budayawan, serta politisi mengeluarkan petisi agar usaha Buddha Bar segera ditutup. “Kami telah melakukan berbagai cara, tetapi Buddha Bar tetap berjalan. Dengan petisi ini, kami percaya akan membuahkan hasil,” tegas Budiman dari Forum Anti Buddha Bar (FABB) saat jumpa pers di Jakarta, Jumat (19/6). Buddha Bar yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Jakarta mulai dibuka pada bulan November 2008. Setelah itu, bar tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak khususnya umat Buddha karena menggunakan nama dan simbol-simbol agama untuk kegiatan komersial.
Para tokoh yang mendukung ditutupnya Buddha Bar tersebut antara lain Abdurrahman Wahid, Frans Magnis Suseno, Jimly Ashidiqqi, Abdul Dubun Hakim, Mufid, Ahmad Syafii Ma’arif, Din Samsudin, Ahmad Syafii, J Kristiadi, Komarudin Hidayat, Masdar Mas’ud, Musda Mulia, Muslim Abdurahman, M Syafii Anwar, Nyana Suryanadi, Sudhamek AWS, Yudi Latif, serta tokoh agama lainnya.
Para tokoh tersebut sepakat bahwa agama sesungguhnya dimaksudkan untuk membangun kedamaian, kebahagiaan umat manusia sehingga sangat tidak pantas menjadikan nama suatu agama beserta ornamen dan simbol-simbolnya untuk kegiatan komersial, dan akan merusak kesucian nilai spritual agama. “Kami tidak dapat menerima penggunaan nama Buddha untuk kegiatan komersial, apalagi memperdagangkan alkohol dan minuman keras lain,” ucap Budiman. Selain itu, penodaan dan penistaan suatu agama merupakan suatu delik pidana yang harus ditindak secara tegas oleh para penegak hukum. Petisi tersebut juga menyerukan kepada pemilik Buddha Bar untuk segera mengganti nama usaha dan tidak lagi menggunakan ornamen dan simbol-simbol Buddhis di dalam tempat usaha karena telah melukai perasaan umat Buddha dan umat beragama lain. “Kami mendesak pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mengambil langkah tegas dalam waktu secepatnya,” tegasnya
B.  Penyelewengan Yang Terjadi Dalam Kasus Buddha Bar
Ketentuan hukum untuk Merek di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang RI No. 5 tahun 2001. Dan bahwa merek Buddha Bar tidak dapat didaftarkan di Indonesia sebab telah melanggar ketentuan yang tercantum pada Bab II Bagian Kedua tentang Merek yang Tidak Dapat Didaftar dan yang Ditolak, yakni:
1.     Pasal 5
Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini :
a.   Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum ;
b.  Tidak memiliki daya pembeda ;
c.   Telah menjadi milik umum ; atau
d.  Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya
2.    Pasal 6
(3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
a.      Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak ;
b.     Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang ;
c.      Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang
C.  Penyelesaian Sengketa yang Dilakukan Atas Penarikan Merek Dagang Buddha Bar oleh Ditjen HKI di Indonesia
1. Jalur Non Litigasi
Dalam kasus pemanfaatan merek dagang Buddha Bar ini telah dilakukan mediasi dimana pihaknya yaitu PT. Nireta Vista Creative dan Forum Anti Buddha Bar dimana Dirjen HKI sebagai pihak mediatornya. Dalam pertemuan ini memberikan hasil kepada Direktorat Jenderal HKI untuk menarik sertifikat merek dagang Buddha Bar yang ada di Indonesia. Karena merek dagang Buddha Bar ini memicu keresahan masyarakat yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini PT. Nireta Vista Creative selaku wakil dari George V Entertainmen pemilik dari merek dagang Buddha Bar ini harus menerima penarikan sertifikat merek dagang Buddha Bar yang ada di Indonesia. Sehingga dengan adanya penarikan merek dagang tersebut fungsi dan manfaat dari merek dagang Buddha Bar ini tidak dapat digunakan secara maksimal. Tetapi PT. Nireta Vista Creative masih tetap dapat menggunakan merek dagang tersebut akan tetapi tidak mempunyai legalitas hukum seperti merek dagang yang didaftarkan pada umunya. Sehingga penggunaan mediasi ini tidak menggunakan penyelesaian win- win solution melainkan salah satu pihak harus menerima kesepakatan yang ada pada pertemuan mediasi ini. Dimana penarikan sertifikat merek dagang Buddha Bar ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI pada tanggal 15 April 2009, melalui suratnya No. HKI 4.HI.06.03-68 oleh Direktorat Merek mencabut sertifikat merek dagang Buddha Bar. sehingga setelah tanggal tersebut PT. Nireta Vista Creative sudah tidak mendapatkan perlindungan hukum.
2. Jalur Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ini membuka peluang untuk mengajukan sengketa supaya dapat diperiksa secara perdata, pidana maupun administratif. Di samping kedua alternatif tersebut pemilik hak merek dapat mengajukan permohonan penetapan sementara yang diatur di dalam Undang- Undang merek. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual mendapat gugatan dari Pihak Pemilik Merek dagang Buddha Bar dalam hal ini George V. Entertainment dalam Pengadilan TUN mengenai penarikan merek dagang Buddha Bar yang telah terdaftar.
Dengan adanya cara- cara yang dapat ditempuh melalui jalur normatif ini maka merujuk pada kasus Buddha Bar, dengan menggunakan tiga sarana penyelesaian sengketa admintratif, namun dalam pemanfaatan merek dagang Buddha Bar dimaksud, perlu juga memerhatikan kewenangan masing- masing sarana litigatif pemanfaatan merek dagang Buddha bar. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang- Undang Merek, komisi banding hanya diperuntukkan untuk menyelesaikan sengketa adminstratif bidang merek, khususnya yang berkaitan dengan permohonan banding karena adanya penolakan permintaan pendaftaran merek. Dengan menggunakan dasar Pasal 33 Undang- Undang Merek lebih ditegaskan lagi bahwa sengketa dalam hal sengketa administratif merek yang berkaitan dengan penolakan permohonan perndaftaran jenis merek Hak Kekayaan Intelektual yang lain tidak dikenal adanya komisi banding. Padahal pemanfaatan merek Buddha Bar dimaksud sudah terjadi pendaftaran pada Dirjen HKI baru kemudian muncul sengketa. Dengan demikian komisi banding dalam Undang- Undang Merek tidak dapat digunakan untuk solusi ligitatif dalam kasus pemanfaatan merek dagang Buddha Bar.
D.  Akhir Dari Buddha Bar
Pada awal Maret 2009 mereka mengajukan permohonan ke Ditjen HKI untuk menarik kembali merek terdaftar yang menjadi nama bar tersebut. Dasar perdebatan mereka adalah Konvensi Paris tentang Kekayaan Industrial yang menyatakan bahwa sebuah merek tidak dapat menggunakan atribut keagamaan atau unsur-unsur lain yang dapat mengganggu ketertiban umum.
Direktur Merek Herdwiyatmi, SH segera memberikan pernyataan terkait isu kontroversial tersebut segera setelah FABB mengeluarkan petisi. Dalam pernyataannya beliau mengatakan, “Masalahnya kami kurang teliti pada Pasal 5. Pasal 5 melarang penggunaan simbol-simbol atau nama-nama dari kepercayaan atau aliran agama tertentu sebagai merek dan kami kurang teliti. Kami mengakui hal tersebut.”
Selain mengeluarkan petisi, FABB juga melakukan usaha lain melalui aksi-aksi demonstrasi, forum diskusi, melakukan kegiatan keagamaan di depan halaman bar tersebut, hingga mengunjungi Dinas Pariwisata DKI Jakarta untuk mencabut ijin operasional bar milik asing tersebut. Ketua FABB, Kevin Wu, mengatakan bahwa mereka akan mengajukan protes ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai keberadaan waralaba bar tersebut, yang banyak menggunakan nama-nama Buddha lainnya, seperti Siddharta's Cafe di Praha, Little Buddha Cafe di Las Vegas dan Buddha Bar Spa di Evian, Les-Bains.
Setelah melewati perdebatan panjang dalam mediasi yang diadakan oleh Ditjen HKI antara pemilik merek dengan FABB, dengan Andi N. Sommeng, Direktur Jendral, sebagai mediator, pihak PT. Nireta Vista Creative, pemegang lisensi dari George V Eatertainment sebagai pemilik merek, akhirnya mengajukan penghapusan merek Buddha Bar ke Kantor Merek, yang kemudian segera dikabulkan melalui Surat No. HKI.4.HI.06. 03-68 tertanggal 15 April 2009.
Belakangan ini bar tersebut mengganti namanya menjadi “Bataviasche Kuntskring” dan masih beroperasi setiap hari mulai pukul 20.00 hingga pukul 04.00 keesokan harinya. Nama tersebut diambil dari sebutan asli gedung tua berumur 96 tahun itu yang dibangun pada tahun 1913 oleh seorang arsitek Belanda bernama Pieter Andriaan Jacobus Moojen. Gedung cagar budaya tersebut dibeli oleh pemerintah dari pemiliknya dan mengalami pemugaran yang menghabiskan dana sekitar Rp 35 trilyun yang berasal dari pungutan pajak masyarakat.

Sumber :


___________.2009.”Anak Sutiyoso Dirikan Buddha Bar Jakarta”.(online) http://nusantaranews.wordpress.com/2009/02/26/anak-capres-sutiyoso-melecehkan-agama-buddha/(diakses tanggal 19 September 2014)

Tim Jaya Manggala.2010.” Kronologi Buddha BAR - Bukti Pemerintah Indonesia TIDAK BERDAYA, Pemilik Buddha BAR "KEBAL HUKUM" (bag.1)” .(online) https://www.facebook.com/note.php?note_id=110444508989110 (diakses tanggal 21 September 2014)

Ulil Abshar Abdalla.2010.”Multikulturalisme Kembar dan Masalah Buddha Bar”.(online)http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1302&cat=content&cid=13&title=multikulturalisme-kembar-dan-masalah-buddha-bar(diakses tanggal 20 September 2014)

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS